Indonesia menjanjikan dekarbonisasi industri nikel karena kekhawatiran sosial dan keanekaragaman hayati masih ada | Berita | Bisnis Ramah Lingkungan


Peta jalan ini merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029 yang bertujuan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) ke dalam hilirisasi industri. Salah satu target utamanya adalah mengurangi emisi dari industri nikel sebesar 90 persen pada tahun 2050. Target ini juga bertujuan untuk memperluas peluang kerja di bidang energi terbarukan dan memberikan insentif bagi industri ramah lingkungan.

Saat ini, industri nikel Indonesia mengeluarkan 58,6 ton setara karbon dioksida (tCO2e) per ton nikel, melebihi standar global sebesar 48 tCO2e per ton.

“Industri ini [nickel] menggunakan batu bara karena memerlukan panas yang konsisten dan andal, terutama untuk smelter. Menggantinya akan sulit dan memakan waktu. Oleh karena itu prioritas kami adalah membuat peta jalan pengurangan emisi di sektor ini,” kata Nizhar Marizi, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia.

Langkah pertama adalah memetakan lintasan emisi industri, kemudian merencanakan cara melakukan dekarbonisasi perdagangan dan cara membiayai upaya-upaya ini, kata Almo Pradana, wakil direktur program untuk iklim, energi, kota, dan kelautan di World Resources Institute. Indonesia. “Tentu saja Indonesia tidak bisa melakukannya sendiri; dukungan internasional diperlukan,” tambahnya.

Pemerintah belum mengeluarkan biaya untuk melakukan dekarbonisasi perdagangan nikel di Indonesia yang berkembang pesat.

Ironi dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang menjadi penggerak perdagangan nikel

Meskipun peta jalan untuk mendekarbonisasi rencana hilirisasi Indonesia merupakan langkah awal yang penting, perubahan peraturan juga sangat diperlukan.

Pada bulan Februari, Indonesia meluncurkan revisi “taksonomi” atau buku peraturan investasi ramah lingkungan yang mengkategorikan pembangkit listrik tenaga batu bara yang menggerakkan fasilitas nikel – yang dikenal sebagai pembangkit listrik tenaga batu bara captive – sebagai bagian dari transisi ekonomi hijau, sebuah langkah yang telah menimbulkan kekhawatiran bagi para aktivis lingkungan hidup.

Laporan tahun 2023 oleh Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) mengungkapkan bahwa 23,7 persen listrik Indonesia yang dihasilkan dari pembangkit listrik bersifat terbatas, dan 67 persen dari kapasitas tersebut digunakan untuk proyek peleburan nikel. .

Jumlah pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia juga meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir, tumbuh lima kali lipat dari rata-rata global, sejalan dengan ambisi hilirisasi nikel di negara ini.

Sementara itu, laporan terbaru WALHI, sebuah organisasi lingkungan hidup di Indonesia, memperkirakan total kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara akan mencapai 8.345 megawatt di Morowali, Sulawesi Tengah, yang merupakan pusat utama perdagangan nikel. Kelompok tersebut juga memperkirakan bahwa pabrik-pabrik tersebut tidak akan mencapai kapasitas puncaknya hingga tahun 2027-2028. Penduduk desa yang tinggal di dekat pabrik telah melaporkan infeksi pernafasan dan penyakit kulit.

Pola polusi iklim yang ditimbulkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia bertentangan dengan target pengurangan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030, seperti yang dituangkan dalam kontribusi nasional terhadap Perjanjian Paris. Namun, penerbitan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2012, sebuah undang-undang yang dirancang untuk membatasi kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, tidak mengatur pembangkit listrik tenaga uap (captive plant) di industri nikel.

Deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati

Industri nikel juga menimbulkan risiko deforestasi dan keanekaragaman hayati yang parah. Di Halmahera, Maluku Utara, 5.331 hektar hutan tropis telah dibuka untuk dijadikan tambang nikel, dan melepaskan 2,04 metrik ton gas rumah kaca. Setengah juta hektar hutan berada di bawah ancaman penambangan nikel, menambah luas wilayah yang lebih luas dari Singapura yang telah ditebang untuk memenuhi lonjakan permintaan mineral transisi.

“Hilangnya keanekaragaman hayati dan perusakan hutan hujan akibat penambangan nikel jelas akan meningkatkan emisi Indonesia,” kata Rere Christanto, manajer kampanye pertambangan dan energi di WALHI. Peta jalan dekarbonisasi Indonesia untuk sektor ini harus menyadari bahwa industri ekstraktif tidak menjamin manfaat jangka panjang bagi masyarakat lokal, dan izin pertambangan harus mematuhi prinsip-prinsip konservasi yang menjaga hutan dan masyarakat yang bergantung padanya, lanjutnya.

Presiden Indonesia yang baru terpilih telah berjanji untuk memberikan insentif fiskal untuk investasi smelter nikel baru, dan insentif serupa juga akan diberikan untuk komoditas hilir lainnya termasuk minyak sawit mentah, makanan laut, kayu dan karet. Saat kampanye, Prabowo memperkirakan program hilirisasi 21 komoditas membutuhkan investasi hingga US$545 miliar.

Ambisi ini mungkin berasal dari keberhasilan ekonomi yang dialami industri hilir dalam beberapa tahun terakhir. Pajak dari industri hilir meningkat dari US$13 juta pada tahun 2017 menjadi US$1 miliar pada tahun 2022, seiring dengan peningkatan produksi feronikel yang digunakan untuk membuat baja, dan pig iron nikel. Sementara itu, PNBP sektor minerba mengalami peningkatan signifikan, dari US$2 miliar pada tahun 2020 menjadi US$10 miliar pada tahun 2023.

“Kami memperkirakan penerimaan negara dari sektor nikel akan tumbuh sekitar US$7 miliar hingga tahun 2045,” kata Irwandy Arif, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara.

Namun meskipun kebijakan hilirisasi di Indonesia sudah menunjukkan keberhasilan ekonomi, para ahli menduga bahwa Indonesia belum siap secara teknis, finansial, atau teknologi untuk melakukan hilirisasi. Laju pertumbuhan ekonomi di provinsi-provinsi hilir utama nikel – 20,49 persen di Maluku Utara dan 11,91 persen di Sulawesi Tengah pada tahun 2023 – kontras dengan penurunan kualitas hidup masyarakat yang tinggal di provinsi-provinsi tersebut. Nelayan di Sulawesi mengalami penurunan mata pencaharian karena berkurangnya hasil tangkapan ikan akibat pencemaran laut yang disebabkan oleh industri nikel.

Laporan Pusat Studi Ekonomi dan Hukum serta Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih memproyeksikan kerugian ekonomi sebesar lebih dari US$387,10 juta selama 15 tahun ke depan pada sektor pertanian dan perikanan. akibat penambangan nikel di tiga provinsi penghasil nikel, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Selain itu, petani dan nelayan terancam kehilangan pendapatan sebesar US$234,84 juta dalam 15 tahun jika terjadi skenario business-as-usual pada industri nikel.

“Kami belum menghitung biaya pemulihan lingkungan yang rusak, hutan yang ditebangi, biaya perawatan kesehatan bagi masyarakat yang terkena dampak, dan biaya bencana iklim jika emisi dari sektor nikel tetap tinggi,” jelas Christanto.

Selain upaya dekarbonisasi, pemerintah Indonesia perlu merevisi peraturan pertambangan dan hilirisasi nikel, kata para ahli. Perubahan terbaru UU Minerba pada tahun 2020 mengalihkan seluruh urusan pertambangan ke pemerintah pusat. Namun, pemerintah pusat belum memiliki sistem pengawasan yang memadai terhadap sektor pertambangan. Hal ini berarti bahwa otoritas lokal dan regional dapat menghindari tanggung jawab atas pelanggaran pertambangan, sementara para ahli menunjuk pada budaya hukum Indonesia yang permisif yang cenderung membiarkan pelanggarnya lolos dari hukuman.

“Transisi energi harus dilihat sebagai perubahan mendasar dalam tata kelola energi. Penggunaan bahan bakar fosil telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan akibat emisi yang sangat besar dan praktik tata kelola yang buruk. Ini bukan sekadar tentang peralihan sumber energi. Ini tentang perubahan mendasar dalam cara kita mengelola energi,” kata Christanto.