Sabet Gelar Doktor ITB, Ichwan Azwardi Kupas Peningkatan Cadangan dan Sumberdaya Timah
Jakarta, TAMBANG – Ichwan Azwardi menuntaskan studi doktornya di bidang teknik pertambangan Intitut Teknologi Bandung (ITB). Pria kelahiran Medan yang berkarir di PT Timah Tbk sejak tahun 1997 tersebut, mengupas tuntas soal peningkatan status bekas cadangan timah aluvial darat menjadi cadangan. Selain itu, ia juga membahas tentang evaluasi geostatistika sisa hasil pengolahan timah yang ditambang oleh masyarakat menjadi sumberdaya.
Menariknya, salah satu kesimpulan dari penelitian Ichwan menyebutkan, penambangan semprot-hisap alias borehole mining (BHM) dapat diaplikasikan untuk bekas cadangan timah aluvial darat, yang bentuknya tidak beraturan dan tersebar setempat-setempat alias spot-spot.
Dalam kondisi tertentu, kata Ichwan, bekas cadangan timah aluvial bisa kembali menjadi cadangan dengan rincian luasan mencapai 59 persen sampai 69 persen, volume mencapai 48 persen sampai 67 persen, dan jumlah timah mencapai 49 persen sampai 73 persen.
“Terdapat potensi peningkatan cadangan bijih timah aluvial darat sebesar volume 146.615.464 meter kubik sampai dengan 204.650.752 meter kubik. Lalu jumlah timah sebesar 20.727 ton sampai dengan 30.879 ton,” beber Ichwan dalam sidang disertasi yang berlangsung di Bandung itu, Selasa (13/9).
Untuk endapan sisa hasil pengolahan timah dari penambangan yang dilakukan oleh masyarakat, sambung Ichwan, dapat diklasifikasikan sebagai sumberdaya dengan taksiran jumlah timah mencapai 1.004.393 ton.
Disertasi yang digarap Ichwan selama masa studi tiga tahun dan berhasil meraih predikat cum laude dengan IPK 3,9 itu, berangkat dari permasalahan yang dialami oleh PT Timah Tbk. Di mana penambangan oleh masyarakat yang marak terjadi menyebabkan rusaknya sumberdaya dan cadangan timah aluvial darat di konsesi perusahaan.
“Bekas-bekas penambangan tersebut menyisakan cadangan yang tersebar dalam bentuk spot-spot dan tidak dapat ditambang lagi menggunakan metode semprot, baik karena faktor dimensi maupun keekonomian,” tegas Ichwan.
Kondisi demikian, mengakibatkan bekas-bekas cadangan turun derajat diklasifikasikan kembali sebagai sumberdaya, sekaligus mengakibatkan jumlah cadangan timah berkurang.
Selama periode 2011-2016, PT Timah Tbk mengalami penurunan produksi yang cukup signifikan. Perusahaan menggulirkan berbagai program, termasuk menampung bijih timah dari sisa hasil pengolahan oleh masyarakat. Hasilnya, pada periode 2017-2019, PT Timah berhasil meningkatkan kembali produksi.
Namun, keberhasilan tersebut memunculkan permasalahan baru. Terjadi ketidakseimbangan neraca timah antara jumlah produksi dengan sumberdaya dan cadangan yang secara resmi dinyatakan berdasarkan standar pelaporan JORC atau KCMI. Puncaknya terjadi pada tahun 2019. Produksi timah yang berasal dari produksi darat juga mengalami peningkatan yang sangat berarti, dan melebihi jumlah cadangan timah pada tahun yang sama.
“Fokus penelitian ini menganalisis secara rinci penyebab dari permasalahan yang ada, lalu mencari dan mengusulkan solusi agar neraca timah dapat disesuaikan” jelas Ichwan.
Obyek penelitian utama yang dianalisis adalah bekas cadangan timah aluvial darat yang tersebar secara setempat-setempat dalam bentuk yang tidak beraturan. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis kondisi sisa hasil pengolahan yang terindikasi sebagai penyebab dari ketidaksesuaian neraca timah.
Adapun faktor pengubah (modifying factor) yang digunakan untuk mengubah klasifikasi bekas cadangan timah aluvial darat dari sumberdaya menjadi cadangan, adalah cara penambangan borehole mining semprot-hisap, yang menjadi salah satu kebaruan di dalam penelitian ini.
Sedangkan untuk sisa hasil pengolahan, dilakukan uji kualitas dengan mengambil contoh-contoh di sejumlah lokasi. Selanjutnya dilakukan analisis geostatistik hingga diperoleh rentang klasifikasi tingkat keyakinan endapan, yang juga menjadi kebaruan dalam penelitian ini.
Untuk diketahui, tim pembimbing dalam disertasi karya Ichwan ini, di antaranya adalah Arjo Prawoto Wibowo, Komang Anggayana, dan Nuhindro Priagung Widodo. Sedangkan tim pengujinya adalah Budi Sulistianto, Mohamad Nur Heriawan, dan Eddy Winarno. Lalu ketua sidangnya ialah Ridho Kresna Wattimena.