Catatan Ringan Dari Redaksi Terkait Larangan Ekspor Bauksit
Jakarta,TAMBANG,-Presiden Joko Widodo akhirnya memberi kepastian bahwa pada Juni 2023 tidak ada lagi ekspor bijih bauksit. Ini setidaknya mengakhiri ketidakpastian yang selama ini beredar dikalangan pelaku usaha pertambangan bauksit. Sebelumnya pelaku usaha masih menunggu kapan pastinya larangan ekspor bijih bauksit ini akan diterapkan.
Meski sesungguhnya UU No.3 Tahun 2020 yang merupakan revisi atas UU No.4 Tahun 2009 Tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara khusus di Pasal 170 A sudah menegaskan bahwa perusahan sesuai dengan ketentuan hanya boleh mengekspor produk mineral tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu dalam jangka waktu paling lama 3 tahun sejak UU ini mulai berlaku. Ini berarti 10 Juni 2023 ekspor produk tambang yang belum dimurnikan akan dihentikan.
Pelaku usaha harusnya sudah mengetahui bahwa pada 2023 larangan ekspor produk yang belum dimurnikan akan dilarang. Pelaku usaha juga mestinya jauh dari “prasangka” seperti di tahun 2014 bahwa meski secara regulasi sudah ditegaskan akan dilarang, namun Pemerintah akan melunak. Untuk kali ini sepertinya tidak. Apalagi hilirisasi nikel sudah menunjukkan manfaat berlipat.
Bukan hanya itu, sesungguhnya larangan ekspor bijih bauksit sudah diterapkan Pemerintah sejak 2014. Namun kemudian diberikan relaksasi sebagai insentif bagi perusahaan tambang yang serius ingin membangun smelter. Kemudian di 2019, ketika Pemerintah menetapkan larangan ekspor bijih nikel, masih ada kelonggaran bagi komoditi bauksit. Relaksasi ekspor ini hanya untuk perusahaan yang serius membangun smelter. Oleh karenanya seharusnya sudah tidak ada yang merasa aneh lagi dengan pengumuman Presiden Joko Widodo kemarin.
Selama ini yang boleh ekspor hanya beberapa perusahaan tambang. Mereka mendapat kuota ekspor namun juga dikenakan bea keluar. Perusahaan juga akan terus diawasi progress kemajuan pembangunan smelternya. Jika tidak memenuhi ambang batas maka akan dihentikan ekspor. Meski selama ini belum terjadi.
Kuota ekspor hanya diberikan kepada perusahaan tambang bauksit yang memenuhi setidaknya tiga kriteria. Pertama; perusahaan yang sudah melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian. Kedua; perusahaan yang sedang dalam proses pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian. Ketiga; perusahaan yang melakukan kerja sama membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian.
Berdasarkan hal itu, saat ini ada beberapa perusahaan tambang yang mendapat kuota ekspor. PT Cita Mineral Investindo,Tbk, PT Aneka Tambang,Tbk, PT Dinamika Sejahtera Mandiri dan PT Sumber Bumi Marah. Total kuota ekspor bijih bauksit sebesar 16,5 juta ton. Dengan demikian ketika kebijakan larangan ekspor bijih nikel maka Indonesia akan kehilangan potensi pemasukan dari penjualan bijih bauksit.
Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Bauksit
Namun di sisi lain, Indonesia berpotensi akan mendapat pemasukan dari penjualan produk pengolahan dan pemurnian bauksit. Nilainya pasti akan lebih besar dari penjualan bijih bauksit selama ini.
Sebagaimana diketahui bauksit diolah menjadi alumina. Dari alumina kemudian diolah lagi menjadi aluminium. Dari sisi alur ini, Indonesia sebenarnya sudah punya semua namun secara kapasitas masih terbilang minim. Saat ini sudah ada tiga smelter yang mengolah bauksit. PT Well Harvest Wining Alumina Refinery (WHW) yang saat ini sudah memproduksi Smelter Grade Alumina (SGA) dengan total kapasitas 2 juta ton SGA per tahun. Line pertama dengan kapasitas 1 juta ton SGA mulai beroperasi pada 2016. Kemudian line kedua mulai produksi pada Februari 2022 dengan kapasitas 1 juta ton.
Juga ada PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) milik PT Antam yang memproduksi Chemical Grade Alumina (CGA). Kapasitas produksinya sebesar 300 ribu ton per tahun CGA.
Kemudian ada juga PT Bintan Alumina Indonesia yang membangun smelter di KEK Galang Batang, Pulau Bintang. Saat ini perusahaan ini berencana memproduksi SGA dengan kapasitas 2 juta ton. PT Aneka Tambang,Tbk bersama MIND ID juga sedang dalam proses pembangunan smelter bauksit untuk memproduksi SGA di Mempawah, Kalimantan Barat.
Pemerintah menyebutkan saat ini ada 12 perusahaan yang sedang membangun smelter yang memproduksi SGA dan CGA. Namun kemajuannya terbilang lamban dengan berbagai alasan salah satunya terkait pendanaan. Meski demikian Pemerintah masih optimis target tersebut bakal tercapai. Di sisi lain Pemerintah pun perlu membantu perusahaan-perusahaan yang kesulitan melanjutkan pembangunan smelter termasuk memfasilitasi perusahaan mendapatkan pendanaan.
Jika semakin banyak industry yang mengolah bauksit menjadi alumina tentu cita-cita mendapatkan nilai tambah dari hilirisasi bauksit akan tercapai. Di sisi lain, potensi bauksit nasional pun dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jika industri pengolahan dan pemurnian bauksit tidak terbangun dalam negeri maka potensi pendapatan yang besar itu hanya mimpi.
Tidak berhenti di sana, Pemerintah pun perlu mendorong industri hilir yakni industry aluminium. Saat ini Indonesia sudah memiliki PT Inalum, BUMN yang memproduksi aluminium dengan kapasitas 300 ribu ton per tahun. Direktur MIND ID Hendi Prio Santoso di akhir November silam mengatakan MIND ID berencana membangun industri yang terintegrasi dari penambangan, smelter alumunia dan smelter alumunium. “Saat ini Inalum sudah menghasilkan aluminium dengan kapasitas produksinya 250 ribu ton per tahun. Tetapi dalam waktu dekat insyaallah akan naik mejadi 300 ribu ton per tahun. Juga ada rencana penambahan kapasitas sampai 600 ribu ton per tahun,”terangnya.
Dengan kapasitas demikian pun, masih kurang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi alumunium di dalam negeri yang tercatat sebesar 1,1-1,2 juta ton. Oleh karenanya MIND ID akan terus berupaya untuk bisa meningkatkan kapasitas produksi yang diperlukan untuk paling tidak konsumsi domestiknya bisa terpenuhi.
Fasilitas smelter aluminium lainnya akan dibangun oleh PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR). Perusahaan milik Garibaldi Thohir ini akan membangun smelter aluminium di Kalimantan Utara tahap I ditargetkan mulai beroperasi pada awal tahun 2025. Investasi yang digelontorkan untuk tahap I ini cukup besar yakni US$ 1,1 miliar ini diharapkan membantu memangkas gap antara produksi nasional dengan kebutuhan aluminium nasional.
Total kapasitasnya 1.500 ton per tahun aluminium. Smelter ini akan dibangun oleh PT Adaro Indonesia Alumina lewat anak usaha PT Kalimantan Industry Aluminium (KIA). Untuk tahap awal dimulai dengan kapasitas 500 ton per tahun aluminium. Kemudian tahap kedua juga dengan kapasitas yang sama. Di fase ketiga perusahaan akan mengolah inalum menjadi green alumina karena menggunakan energi ramah lingkungan yakni PLTA. Dengan demikian permintaan alumina dalam negeri akan tumbuh. Selain itu Pemerintah juga diminta untuk terus mendorong pengembangan industri hilir. (bersambung..)