Apa Itu Just Energy Transition Partnership (JETP)? •

Ilustrasi pemanfaatan energi terbaru di perkotaan.

Jakarta, – Program Just Energy Transition Partnership (JETP) telah lama diluncurkan guna mengusung urgensi pensiun dini PLTU batubara dan percepatan transisi energi bersih. Namun isu JETP masih belum dipahami sebagian besar masyarakat Indonesia.

Hal ini terungkap dari hasil survei nasional yang dilakukan oleh CELIOS (Center of Economic and Law Studies). Riset tersebut memetakan pengetahuan, persepsi, dan penerimaan masyarakat terhadap JETP.

“Hasil survei menunjukkan pemahaman masyarakat mengenai JETP masih sangat rendah dan cenderung terpusat pada masyarakat di wilayah dan kelas ekonomi tertentu,” ungkap Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira, Rabu (5/7).

Padahal, menurut Bhima, masyarakat yang terimbas dengan adanya penutupan PLTU misalnya di Kalimantan sebagai pemasok batubara dan di daerah tempat PLTU beroperasi perlu terlibat aktif dalam merumuskan program JETP. Idealnya sebelum Comprehensive Investment Plan (CIP) diluncurkan, masyarakat terdampak bisa memahami dan ikut aktif dalam perumusan program.

Studi ini menunjukkan bahwa meskipun JETP telah disepakati, namun pada skala implementasi masih diperlukan upaya yang lebih intensif dan ekspansif untuk meningkatkan pengetahuan, persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap program-program pemerintah. Apalagi, partisipasi publik dalam mengawal percepatan transisi energi di Indonesia sangat penting untuk menghindari solusi palsu transisi energi (false solution).

Riset yang dilakukan oleh CELIOS tersebut melibatkan 1.245 orang responden yang tersebar secara nasional. Hasilnya, terdapat 76 persen masyarakat tidak mengetahui adanya JETP.

Berdasarkan sebaran wilayah, informasi terkait JETP lebih dipahami oleh masyarakat di Bali dibandingkan daerah lain. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi JETP lebih dikaitkan event G20 sehingga persebaran informasi tindak lanjut komitmen transisi energi berkeadilan dipersepsikan belum merata.

Survei CELIOS juga menunjukkan bahwa mayoritas atau 53 persen perempuan memiliki kecenderungan mendukung penutupan PLTU batubara dan transisi ke EBT secara paralel. Sayangnya, program transisi energi bisa terhambat karena masyarakat menilai terdapat sumber energi yang masih dominan.

“Sebanyak 32 persen menyebut batubara sebagai sumber penghambat transisi energi utama, disusul 26 persen minyak bumi, 26 persen nuklir dan 11 persen gas,” ujar Bhima.

Persebaran responden survei nasional berdasarkan domisili. (CELIOS)

Sementara Peneliti Unitrend, Ignatius Ardhana Reswara, menjelaskan bahwa hambatan utama transisi ke energi terbarukan adalah masih besarnya ketergantungan energi fosil, sehingga persepsi tentang JETP berkorelasi kuat dengan keinginan masyarakat untuk menutup PLTU. Tanpa adanya penutupan PLTU dalam waktu cepat, dikhawatirkan percepatan transisi EBT akan tertunda.

“Dua hal ini harus jalan paralel,” ujar Ardhana.

Dalam proses transisi masyarakat juga menilai penggunaan nuklir, co-firing PLTU, gasifikasi batubara dan geothermal sebagai solusi yang harus dihindari. Salah satu alasannya terkait proses transisi energi perlu dijaga agar menerapkan prinsip berkeadilan dan tidak menimbulkan permasalahan lingkungan baru yang berisiko bagi masyarakat.

Temuan menarik lain dari survei opini JETP adalah ketertarikan perempuan dalam pekerjaan yang berkaitan dengan transisi energi cukup rendah. Sebanyak 48 persen responden perempuan mengatakan tidak tertarik bekerja di sektor yang terkait transisi energi seperti energi terbarukan.

“Ada bias gender dalam transisi energi yang perlu dicermati oleh pemerintah karena seolah transisi energi adalah pekerjaan laki-laki yang sifatnya teknis. Padahal perempuan bisa terlibat juga misalnya dalam pengembangan instalasi panel surya skala rumah tangga dan pembangkit mikro-hidro.” kata Bhima.