Kemenperin: HGBT Tidak Berjalan Baik •

Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif.

Jakarta, – Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) diyakini kurang berjalan dengan baik. Beberapa industri justru membeli gas dengan harga di atas US$ 6 per MMBTU. Akibatnya, daya saing produk mereka pun menurun.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, mengatakan HGBT untuk sektor industri harus terlaksana dengan tepat sesuai peraturan yang berlaku. Sebab, adanya isu kenaikan HGBT akan berpengaruh terhadap daya saing industri. Sementara perluasan program HGBT justru akan berdampak terhadap peningkatan investasi sektor industri di Indonesia karena adanya ketersediaan energi yang kompetitif.

“Apalagi pemerintah fokus untuk terus meningkatkan investasi dan kinerja sektor industri manufaktur yang menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini juga menjadi salah satu faktor eksternal yang berdampak terhadap industri manufaktur,” ujar Febri, Jum’at (3/11).

Dia mencatat beberapa kendala terhadap penerapan HGBT. Salah satunya adalah sektor industri mengalami pembatasan pasokan gas bumi di bawah volume kontrak. Contohnya di Jawa Timur, terjadi pembatasan kuota antara 27-80 persen kontrak dan pengenaan surcharge harian untuk kelebihan pemakaian dari kuota yang ditetapkan di hampir seluruh perusahaan.

Kendala lainya, ungkap Febri, masih ada industri penerima HGBT yang mendapatkan harga di atas US$ 6 per MMBTU. Bahkan ada sektor industri pengguna yang belum menerima HGBT. Padahal, sektor industri tersebut sudah direkomendasikan oleh Menperin mulai periode April 2021 – Agustus 2022.

“Kami mendorong agar kebijakan HGBT bagi sektor manufaktur dapat dijalankan dengan menegakkan aturan-aturannya,” tegasnya.

Menurut Febri, industri manufaktur di tanah air sedang mengalami tekanan cukup berat dari kondisi di global maupun domestik. Saat ini, perekonomian dunia masih belum menentu dan tetap mengalami perlambatan karena adanya dampak perang Rusia-Ukraina dan Palestina-Israel.

Kondisi ini berpengaruh besar terhadap permintaan bagi sektor industri manufaktur di tanah air. Meskipun Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Oktober 2023, yang dirilis Kementerian Perindustrian, menunjukkan ekspansi dengan capaian 50,70, namun terjadi perlambatan dari angka 52,51 di September 2023. Hal ini sejalan dengan hasil Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada bulan yang sama, dengan posisi 51,5, turun dari September di posisi 52,3, sesuai yang dilansir oleh S&P Global.

“Untuk PMI manufaktur Indonesia, kita telah berada di posisi ekspansi selama 26 bulan berturut-turut. Meskipun industri manufaktur kita tengah mengalami gempuran yang bertubi-tubi, namun dari tingkat kepercayaan diri atau optimismenya masih cukup tinggi,” jelasnya.

Pada akhirnya kondisi tersebut juga akan mempengaruhi produktivitas dan daya saing industri manufaktur di dalam negeri. Selain kondisi ekonomi global yang berpengaruh pada permintaan, sektor manufaktur juga menghadapi fluktuasi nilai tukar rupiah yang melemah, yang berakibat pada melonjaknya harga bahan baku dan biaya produksi.

Terkait capaian PMI Manufaktur Indonesia pada Oktober 2023, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence, Jingyi Pan, menyampaikan bahwa sektor industri manufaktur di Indonesia terus berekspansi pada awal triwulan keempat.

“Namun demikian tanda-tanda perlambatan lebih lanjut pada momen pertumbuhan telah terlihat, termasuk perlambatan kedua secara berturut-turut pada pertumbuhan permintaan baru dan kontraksi baru pada permintaan ekspor baru,” ungkapnya.

PMI Manufaktur Indonesia pada Oktober 2023 mampu melampaui PMI Manufaktur Amerika Serikat (50,0), Korea Selatan (49,8), Vietnam (49,6), Myanmar (49,0), Jepang (48,7), Taiwan (47,6), Thailand (47,5), Malaysia (46,8), Inggris (45,2), dan Jerman (40,7).