ASPEBINDO Dorong Terciptanya Ekosistem Bisnis di Energi •

Webinar bertajuk “Harga Batubara Semakin Membara, Bagaimana Prediksi di Tahun 2024?” digelar oleh ASPEBINDO dalam rangkaian acara menuju Indonesia Mineral and Energy Conference (IMEC) 2023.

Jakarta, – Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara Indonesia (ASPEBINDO) kembali menegaskan pentingnya kolaborasi berbagai stakeholder untuk menciptakan ekosistem bisnis dari berbagai kalangan. Khususnya, negara-negara maju yang bisa mengoptimalkan sumber daya alam, utamanya di bidang energi.

Menurut Ketua Umum ASPEBINDO, Anggawira, kolaborasi tersebut diperlukan untuk mendorong terciptanya ekosistem bisnis yang saling menopang dan menguntungkan.

“Kami dari ASPEBINDO, dengan semangat kolaborasi terus mendorong terciptanya ekosistem bisnis yang bisa saling menopang khususnya di sektor energi. Ini adalah salah satu upaya ASPEBINDO membuka komunikasi dari berbagai stakeholder karena negara maju adalah negara yang mampu mengoptimalkan sumber daya alamnya,” ujar Anggawira dalam Webinar bertajuk “Harga Batubara Semakin Membara, Bagaimana Prediksi di Tahun 2024?” Selasa (12/12).

Webinar ini merupakan rangkaian acara menuju Indonesia Mineral and Energy Conference (IMEC) 2023, yang akan digelar ASPEBINDO secara offline pada 19 Desember 2023 di Jakarta.

Webinar menghadirkan pelaku usaha, pengamat energi, dan juga pengguna, yaitu CEO Nexis Energi Investama (Bomba Grup Mining Holding) Muhammad Puri Andamas, Kepala Peneliti INDEF Berly Martawardaya, General Manager Marketing PT Kaltim Prima Coal (KPC) Rahmad Desmi Fajar, dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Semen Indonesia, Ari Wimbardi Wirawan.

Dalam paparanya, Puri Andamas menyampaikan bahwa penjualan batubara lokal lebih kecil dari penjualan ekspor. Karena itulah, dibutuhkan langkah dan strategi untuk meningkatkan harga lokal.

“Signifikansi penjualan batubara kita di lokal tidak jauh lebih baik dari luar, untuk ekspor. Sehingga kita perlu langkah-langkah untuk menyusun strategi agar konsumsi meningkat dan harga demand bisa kompetitif dengan ekspor,” ujarnya.

Sementara Rahmad Desmi mengungkapkan bahwa hal penting selain dari dukungan Pemerintah untuk industri batubara yaitu kedisiplinan para produsen.

“Saya kira yang terpenting selain dari dukungan pemerintah yang kondusif untuk industri batubara adalah produsen disiplin. Jadi, ketika tidak disiplin dalam produksi tanpa memperhatikan perkembangan harga dalam jangka waktu pendek harga akan terus meluncur jatuh. Sehingga para produsen batubara dapat survive dengan kondisi tersebut,” tuturnya.

Hal senada juga disorot oleh Ari Wimbardi. Dia mengharapkan kestabilan harga dan suplai pada produsen batubara sehingga tidak terjadi kelangkaan di pasar.

“Kami sadar memang untuk ekspor lebih tinggi harganya, tentu lebih menguntungkan bagi para suplayer batubara untuk ekspor marketnya daripada domestik marketnya. Tapi industri semen juga merupakan suatu industri yang dibutuhkan masyarakat banyak,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Berly Martawadaya memaparkan beberapa faktor yang memengaruhi harga batubara. Salah satunya adalah geopolitik stabil with hot spot di Gaza dan Ukraina.

“Produksi meningkat, demand menurun, exces dan penned-up menurun, decoupling and re-shorting from China continue, geopolitik stabil with hot spot di Gaza dan Ukraina, transisi ke renewable masih fase awal, dan prediksi harga coal 2024: US$ 110-130,” tegasnya.