Perlunya Terobosan Kebijakan untuk Pacu Lepas Landas Transisi Energi  •

Jakarta, – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai transisi energi di tahun 2023 dalam kondisi menggeliat. Malahan, siap untuk lepas landas jika pemerintah mampu mendorong penciptaan kondisi pendukungnya.

IESR membahas secara komprehensif perkembangan transisi energi dan peluang dalam mempercepat transisi energi di Indonesia pada laporan utamanya Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024. Laporan ini diluncurkan, Jum’at (15/12).

Laporan IETO 2024 menemukan bahwa meski terdapat target dan komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi dan target yang lebih tinggi untuk mitigasi emisi gas rumah kaca, pasokan energi fosil masih mendominasi.

Contohnya di sektor ketenagalistrikan. Jumlah total kapasitas PLTU batubara on grid dan captive coal plant sekitar 44 GW dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 73 GW pada tahun 2030. Hal ini akan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi sekitar 414 juta ton setara karbondioksida (MtCO2e) pada tahun 2030.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan Pemerintah harus mau membatasi izin pengembangan PLTU captive setelah tahun 2025. Pemerintah juga harus memandatkan pemilik kawasan industri untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan dan menurunkan emisi dari PLTU yang telah beroperasi sesuai dengan target peak emission sektor kelistrikan di 2030 dan net-zero emission di 2060 atau lebih awal..

IETO mencatat tidak terdapat kenaikan yang signifikan untuk kapasitas energi terbarukan dan kontribusi pada bauran energi terbarukan. Pemanfaatan energi terbarukan yang hanya mencapai 1 GW pada tahun 2023 dari target RUPTL 2021-2030 yang menetapkan 3,4 GW pada periode yang sama.

Menurut Fabby, agar transisi energi dapat berjalan cepat maka perlu adanya kesamaan visi transisi energi yang hemat biaya (cost effective) oleh Presiden dan pembuat kebijakan kunci di Indonesia. Kesamaan visi akan menentukan keberlanjutan komitmen politik dan peta jalan yang optimal.

Selain itu, dia juga menyoroti lambatnya transisi energi di Indonesia disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan politik, kurangnya kapasitas aktor, dan beban kebijakan masa lalu. Untuk itu, dia menekankan perlunya ‘no regret policy’ atau kebijakan yang sudah dipastikan akan memberikan manfaat sosial ekonomi menyeluruh, terlepas dari perubahan yang mungkin terjadi, serta reformasi anggaran publik dan reformasi PLN untuk mempercepat proses transisi energi.

“Indonesia perlu peta jalan yang koheren untuk mencapai NZE 2060 atau lebih cepat. Saat ini baru sektor kelistrikan yang paling banyak kemajuannya, sektor transportasi dan industri masih berada di tahap awal. Pemerintah perlu pula melibatkan masyarakat agar tercipta transisi yang adil. Dengan nilai dan sejarah bangsa Indonesia, transisi energi harusnya dapat dilakukan dengan gotong-royong,” ungkap Fabby.

Komitmen politik pemerintah untuk transisi energi telah mendorong meningkatnya komitmen pendanaan bilateral dan multilateral untuk proyek energi terbarukan.

Walaupun demikian, IETO 2024 mencatat target investasi energi terbarukan jauh dari target yang dicanangkan. Salah satunya dikarenakan rendahnya investasi ini terjadi karena minimnya bankable project dan persepsi risiko investor karena kualitas kebijakan dan regulasi yang belum memenuhi kebutuhan investor dan pelaku usaha. Namun, ini belum mampu mendongkrak pemanfaatan energi terbarukan yang hanya mencapai 1 GW pada tahun 2023.

IESR memandang agar dapat menarik minat investasi, perlu dilakukan tinjauan ulang review atas kebijakan harga tertinggi energi terbarukan di Perpres No. 112/2022 sesuai dengan perkembangan teknologi dan tingkat suku bunga pendanaan. Selanjutnya, ini diikuti dan dengan reformasi lainnya untuk mendorong pengembangan proyek energi terbarukan bankable dan menguntungkan bagi investor. Upaya menarik investor dapat dilakukan dengan memperbaiki struktur tarif dan memastikan profil risiko-imbalan (risk-reward) yang adil bagi para mitra produsen listrik swasta serta mempertimbangkan skema power wheeling.

“Selain kolaborasi yang solid antara PLN, regulator, pengembang proyek, dan pemberi dan, baik itu swasta maupun pemerintah, diperlukan untuk menyiapkan rangkaian proyek yang kokoh dan meningkatkan proyek-proyek yang layak untuk pendanaan,” jelas His Muhammad Bintang, Analis Teknologi Penyimpanan Energi dan Materi Baterai IESR, yang juga merupakan penulis IETO.

Di sisi transportasi, peningkatan adopsi kendaraan listrik mengalami kenaikan sebesar 2,4 kali lipat untuk sepeda motor listrik pada tahun 2023, dari 25.782 unit di 2022 menjadi 62.815 di September 2023.

Di lain sisi, pemerintah daerah di Indonesia tengah menghadapi tantangan untuk menyelesaikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan mengimplementasikannya untuk memenuhi target energi terbarukan. Adanya peraturan terbaru Perpres No. 11/2023 memperluas kewenangan pemerintah daerah dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, salah satu tantangan implementasinya adalah anggaran pemerintah daerah yang terbatas, sehingga perlu diseimbangkan dengan prioritas lainnya.