Greenpeace Indonesia Memperingatkan Pemerintah Akan Risiko Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
TEMPO.CO, Jakarta – Pemerintah Indonesia berencana mendirikan yang pertama pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di tanah air pada tahun 2032. Greenpeace Indonesia mengingatkan pemerintah akan risiko yang ditimbulkannya terhadap masyarakat Indonesia, termasuk ledakan di masa lalu, yang masih membayangi potensi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia.
“Pemerintah bahkan tidak bisa melindungi data kita, apalagi mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir yang membutuhkan teknologi, mentalitas, dan disiplin tingkat tinggi untuk menjaga keamanannya,” perdamaian hijau Hal tersebut disampaikan oleh penggiat iklim dan energi Indonesia, Didit Wicaksono Tempo pada hari Rabu, 21 Agustus 2024.
Meski ingin Indonesia maju, Didit mengaku skeptis terhadap kemampuan pemerintah menjaga keamanan pembangkit listrik tenaga nuklir. Didit mengatakan, ada beberapa alternatif untuk mewujudkan energi nasional, salah satunya pembangkit listrik tenaga surya.
“Pengembangan (pembangkit listrik) nuklir membutuhkan waktu yang lama, rata-rata 190 bulan atau 15 tahun. Sebaiknya dibangun pembangkit listrik tenaga surya yang memakan waktu kurang lebih 2 tahun jika tujuannya untuk mengejar ketersediaan energi,” kata Didit.
Didit juga melihat potensi pemanfaatan energi angin di wilayah timur Indonesia. “Kita mempunyai berbagai potensi energi yang bisa dieksplorasi, jadi saya tidak tahu kenapa pemerintah ingin mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir yang risiko dan bahayanya lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan lainnya,” kata Didit.
Pembangkit listrik tenaga nuklir juga menimbulkan risiko konflik lahan baru di masyarakat karena akan terus mengikis lahan untuk penambangan uranium dan thorium.
BRIN Klaim SDM dan Teknologi Indonesia Memadai
Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Syaiful, mengatakan pengembangan PLTN sangat mungkin dilakukan dengan teknologi dan sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia saat ini. Syaiful mengatakan Indonesia memiliki peneliti nuklir yang kompeten.
Menurut Syaiful, BRIN saat ini mengelola tiga reaktor nuklir skala penelitian di Bandung, Serpong, dan Yogyakarta. Reaktor nuklir digunakan untuk mendukung industri medis berbasis radioisotop meskipun dalam skala penelitian. “Reaktor nuklir yang ada di BRIN saat ini bermanfaat bagi bidang kesehatan,” ujarnya.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko juga menyatakan siap menjadikan BRIN sebagai lembaga pelaksana UU Energi Baru dan Terbarukan jika RUU tersebut disahkan DPR.
ALIF ILHAM FAJRIADI
Pilihan Editor: Indonesia dan AS Bahas Kolaborasi Reaktor Nuklir untuk Pembangkit Listrik
klik disini ke mendapatkan update berita terkini dari Tempo di Google News
