SP PLN: Sewa Jaringan Listrik, Liberalisasi Terselubung Ala Pemerintah •

Ketua Umum SP PLN, M. Abrar Ali.
Jakarta, – Serikat Pekerja PT PLN (Persero) membalas pernyataan Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, terkait skema sewa jaringan listrik yang akan diadopsi dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) bukanlah bentuk dari pasar bebas (liberalisasi) industri listrik nasional. Ketua Umum DPP SP PLN, M Abrar Ali, menyebut pernyataan tersebut keluar karena ketidakpahaman arti liberalisasi dalam aspek hukum, konstitusi dan bisnis.
“Pernyataan tersebut sangat memprihatinkan dan sangat mencederai iklim demokrasi kita. Ini akibat ketidakpahaman arti liberalisasi dalam aspek hukum, konstitusi dan bisnis. Harusnya beliau (Eniya Listiani Dewi) memahami dulu dengan baik dan benar apa yang disebut dengan liberalisasi, baik secara hukum, konstitusi maupun bisnis, baru selanjutnya mengeluarkan pernyataannya. Bukan hanya berdasar pada kepentingan semata,” ujar Abrar, Kamis (12/9).
Senin lalu (9/9), Dirjen EBTKE menyatakan bahwa skema sewa jaringan listrik dengan nama lain pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) dalam RUU EBET bukan merupakan bentuk dari pasar bebas (liberalisasi) industri listrik nasional. Langkah ini ditempuh untuk mengoptimalkan distribusi listrik dengan harga lebih terjangkau, serta meningkatkan bauran energi terbarukan.
Namun, menurutnya, SP PLN tetap menolak skema tersebut dan menyebutnya sebagai bagian dari upaya liberalisasi terselubung ala Pemerintah. Skema tersebut juga disebutnya cacat secara hukum, konstitusi dan tidak berpihak pada ekonomi kerakyatan.
Abrar menyampaikan ada beberapa alasan bagi SP PLN dalam menolak skema sewa jaringan tersebut. Pertama, skema PBJT itu sangat bertentangan dengan konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Dalam hal ini diwakili BUMN sebagai pengelola. Jika skema tersebut diterapkan, otomatis penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian beralih kepada swasta.
Kedua, Putusan MK No. 36/2012 yang menyebut pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta.
Ketiga, Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003, menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehingga, sistem unbundling yang berisi skema tersebut juga inkonstusional, dan harus ditolak.
Keempat, Putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan, listrik sebagai public utilities tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar bebas, karena para pihak mengambil keputusan berdasar pasokan dan permintaan.
“Hal ini dapat berarti negara tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang hidup kekurangan secara ekonomi. Jelas skema tersebut sangat tidak Pancasilais. Kalaupun ada pernyataan tambahan dari beliau (Eniya Listiani Dewi) yang menyebut PLN masih melakukan penguasaan lewat persetujuan harga sewa jaringan, dan bukan pasar bebas, menurut hemat kami, itu akal-akalan pemerintah saja, yang kita sebut sebagai liberalisasi terselubung ala pemerintah,” ungkap Abrar.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa penerapan skema tersebut (pemanfaatan bersama jaringan transmisi/PBJT) jangan terlalu dipaksakan, karena akan sangat merugikan negara dan masyarakat kita sendiri. Kajian-kajian akan besarnya kerugian bagi pemerintah dan masyarakat atas dampak PBJT sudah banyak dilakukan. Namun pemerintah tidak pernah menggubrisnya.
“Karena itu, baiknya soal pengesahan RUU EBET tersebut ditunda dulu sampai benar-benar meyakinkan memberikan manfaat bagi masyarakat. Jangan karena kepentingan sesaat atau suatu kelompok segala cara dihalalkan,” tegas Abrar.