ASEAN Perlu Prioritaskan Pengembangan Energi Terbarukan •

Ilustrasi PLTB di daerah perbukitan yang infrastrukturnya terbatas.

Jakarta, – Pertemuan Menteri Energi ASEAN (ASEAN Ministers on Energy Meeting, AMEM) sukses digelar di Laos, Kamboja, Kamis (26/9) lalu. Namun hasil pertemuan ke-42 tersebut dinilai mencerminkan sikap setengah hati dalam melakukan transisi energi di Asia Tenggara. Pasalnya, selain mendorong pengembangan energi terbarukan namun ASEAN akan tetap mempertahankan peran batubara dan gas melalui penggunaan teknologi penyimpanan dan penangkapan emisi (CCS/CCUS).

ASEAN memperlihatkan keengganan untuk segera beralih dari energi fosil dengan sikapnya yang mengapresiasi adopsi teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). Karena itulah, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa fokus ASEAN seharusnya lebih diarahkan pada akselerasi pengembangan infrastruktur energi terbarukan yang sudah terbukti lebih efektif dan ekonomis.

“ASEAN seharusnya lebih ambisius mengembangkan dan mengintegrasikan teknologi energi terbarukan seperti energi surya, angin, panas bumi, dan biomassa ke dalam sistem energinya,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, Sabtu (5/10).

Demi memitigasi naiknya suhu bumi akibat emisi dari pembakaran energi fosil, menurut Fabby, ASEAN seharusnya fokus pada upaya mempercepat transisi energi ke energi terbarukan. Langkah pengembangan energi terbarukan ini diyakini bakal berpengaruh signifikan terhadap pencapaian target iklim global, dibandingkan mengandalkan  teknologi batubara bersih (Clean Coal Technology, CCT).

Sementara Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi, menyoroti teknologi CCS dan CCUS yang secara keekonomiannya masih mahal dengan biaya investasi yang tinggi. Biaya pengoperasiaan CCS akan semakin mahal  jika gas yang diproses memiliki konsentrasi CO2 yang rendah. Selain itu, teknologi CCS/CCUS belum teruji kehandalannya dalam menurunkan emisi, khususnya di Indonesia.

Menurut Arief, negara di kawasan ASEAN sebaiknya memusatkan upayanya untuk mendorong investasi yang tujuannya menurunkan emisi secara signifikan dan memberikan manfaat ekonomi dalam jangka panjang, seperti dengan pemanfaatan energi terbarukan. Tren penurunan biaya pembangkitan energi terbarukan menunjukkan teknologi energi terbarukan semakin kompetitif. Sementara investasi pada CCT justru akan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan memperbesar risiko aset mangkrak (stranded assets).

Studi IESR mencatat, penggunaan CCS memerlukan investasi yang sangat besar, yaitu sekitar US$ 3 miliar untuk mengurangi 25-33 juta ton CO2 dalam kurun waktu 10-15 tahun. Jika dibandingkan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara Indonesia yang mencapai 44,6 GigaWatt pada tahun 2022, penggunaan CCS akan menghabiskan biaya lebih banyak dengan nilai manfaat (return value) yang minim dalam upaya mengurangi emisi karbon dan mencapai target iklim.

Selain itu, biaya CCS enam kali lebih mahal dibandingkan pembangkitan listrik dengan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang didukung oleh teknologi penyimpanan energi.

Karena itulah, IESR mendorong negara-negara ASEAN untuk lebih proaktif mengembangkan kebijakan dan regulasi yang mendukung energi terbarukan dan infrastruktur yang berkelanjutan. Selain itu, IESR menekankan pentingnya akses yang luas bagi publik untuk berpartisipasi pada pengambilan keputusan terkait energi di ASEAN.