Prabowo-Gibran Didesak Mitigasi Dampak Industri Hilir Nikel •
Para pembicara di salah satu sesi Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia bertajuk “Telaah Kritis Industri Pertambangan dan Hilirisasi Nikel dengan Perspektif Keadilan Sosial dan lingkungan,” yang digelar di Palu, Sulawesi Tengah, pada 9-10 Oktober 2024.
Jakarta, – Pemerintahan baru Prabowo-Gibran untuk mendengar langsung suara warga terdampak dan segera mengambil langkah nyata dalam merumuskan kebijakan yang inklusif dan bertanggung jawab. Hilirisasi nikel tidak boleh hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi harus melindungi hak masyarakat dan memastikan keberlanjutan lingkungan demi kesejahteraan bersama.
Demikian Komunike Bersama dari Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) yang digelar di Palu, Sulawesi Tengah, pada 9-10 Oktober 2024. Dalam komunike bersama, konferensi juga mendesak seluruh pemangku kepentingan di sektor mineral kritis, khususnya nikel, untuk mengutamakan hak asasi manusia kelompok-kelompok sosial yang marjinal serta tata kelola lingkungan dan sosial yang berkelanjutan dalam kegiatannya mengelola sumber daya mineral.
“Hilirisasi nikel seharusnya menjadi langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Namun, komitmen pemerintah dalam memastikan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan masih diragukan,” tegas komunike bersama tersebut, yang diperoleh PETROMINER, Selasa (15/10) .
Komunike bersama itu juga menegaskan kepada Pemerintahan Prabowo-Gibran, yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024, bahwa hilirisasi nikel tidak boleh dijadikan alat semata untuk pertumbuhan ekonomi. Alasannya, realitas di lapangan menunjukkan banyak dampak negatif yang mengancam kesejahteraan masyarakat dan lingkungan di sekitar kawasan hilirisasi nikel.
Ketua Panitia sekaligus Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Linda Rosalina, menegaskan pertemuan ini sangat krusial dengan kehadiran berbagai organisasi yang aktif dalam advokasi, guna segera mengurangi dampak destruktif dari sektor pertambangan dan industri mineral kritis.
KNMKI diikuti oleh lebih dari 60 organisasi/komunitas, yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil, masyarakat terdampak dan serikat pekerja industri pengolahan nikel. Kegiatan ini menyoroti sejumlah tantangan terkait tata kelola industri mineral kritis khususnya nikel dalam konteks transisi energi, ketenagakerjaan dan kesejahteraan masyarakat, serta dampaknya terhadap kesehatan dan keberlanjutan lingkungan hidup.
“Konferensi dan lokakarya ini telah mengungkap fakta lapangan yang tidak bisa diabaikan, sehingga memperjelas komitmen kami untuk bersinergi dalam mengadvokasi isu-isu pertambangan dan industri nikel. Kami bertekad memperjuangkan tata kelola nikel yang lebih adil, berkelanjutan, serta menghormati hak-hak masyarakat lokal dan perlindungan lingkungan,” ungkap Linda.