Masih Rendah, Pertumbuhan PLTS di Indonesia •
Pegawai PLN saat sedang melakukan pengecekan pada panel surya PLTS Terapung Cirata 192 Megawatt Peak (MWp) di Cirata, Jawa Barat.
Jakarta, – Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan pertumbuhan energi surya di Indonesia tergolong lambat dibandingkan target di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan RUPTL PT PLN (Persero). Hingga Agustus 2024, total kapasitas terpasang energi surya hanya mencapai 718 megawatt (MW).
Padahal, peluang peningkatan kapasitas terpasang dan investasi energi surya terbuka lebar. Hal ini berkat adanya rencana pengembangan energi surya dengan total 17 gigawatt (GW) oleh Pemerintah dan PLN.
Demikian disampaikan IESR dalam laporannya berjudul “Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2025,” yang dirilis, Selasa (15/10).
Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyampaikan bahwa Indonesia perlu mencapai 77 GW kapasitas PLTS hingga tahun 2030. Ini artinya ada tambahan 9-15 GW per tahunnya antara 2024-2030.
Fabby menyoroti sejak tahun 2022, penambahan kapasitas energi surya tergolong lambat dan didominasi oleh PLTS skala utilitas (208 MW), diikuti oleh PLTS atap (143 MW), dan PLTS pada lokasi captive (100 MW).
Karena itulah, IESR mendorong Pemerintah untuk meningkatkan target energi terbarukan di tahun 2025 dan 2030 dengan menjadikan energi surya sebagai tulang punggung transisi energi. Pemerintah juga didesak untuk mendukung investasi PLTS berbagai skala.
“Pemerintah diharapkan lebih ambisius menambah kapasitas energi surya hingga tahun 2030. Rencana penambahan kapasitas energi surya saat ini masih jauh dari yang seharusnya dibangun Indonesia untuk selaras dengan target Persetujuan Paris,” tegasnya.
Fabby mengakui memang benar PLTS memiliki tantangan intermitensi, tapi menjadikannya sebagai alasan untuk membatasi pembangunan PLTS tidak tepat. Ada banyak negara yang penetrasi PLTS di atas 10 persen dari kapasitas total daya, tapi tidak mengalami gangguan keandalan pasokan listrik, apalagi pemadaman.
“Intermitensi dapat diatasi dengan integrasi penyimpanan energi (energy storage) di sistem kelistrikan,” ungkapnya.
Tren Investasi
Alvin Putra Sisdwinugraha, Penulis ISEO 2025 dan Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, mengungkapkan bahwa tren investasi energi surya di Indonesia terpantau meningkat dua kali lipat, dari US$ 68 juta pada tahun 2021 menjadi US$ 134 juta pada tahun 2023. Kestabilan regulasi dan ketersediaan pasar PLTS di Indonesia dinilai akan menjadi faktor penentu dalam menarik investasi energi surya.
Menurut Alvin, rencana proyek energi surya hampir 17 GW dapat menjadi landasan untuk membangun strategi dan investasi sektor ini. Tahun 2025 akan menjadi tahun kunci dalam mengevaluasi efektivitas regulasi energi surya yang ada, serta memastikan infrastruktur yang memadai untuk mendukung penetrasi energi surya dalam skala besar.
IESR mencatat bahwa investasi positif energi surya juga tampak pada rantai pasok modul surya. Hal ini berkaitan dengan keberadaan proyek strategis ekspor listrik energi terbarukan Singapura dan Indonesia. Hingga laporan ini ditulis, total kapasitas produksi modul surya yang diumumkan diperkirakan mencapai 19 GW per tahun, dengan 200.000 juta ton silikon surya dan 17 GW produksi sel surya per tahun.