Serikat Pekerja Pertamina Serukan Lagi Urgensi Revisi UU Migas •
Agum Gumelar.
Jakarta, – Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) berkolaborasi dengan IKAL Strategic Center (ISC) Lemhanas menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tajuk “Urgensi Revisi UU Migas No.22 Tahun 2001 Menuju Ketahanan Nasional.” Forum ini mengedukasi publik dan mendesak Pemerintah agar segera merevisi UU No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).
“Saya berharap forum ini menghasilkan rekomendasi konkret untuk disampaikan kepada pemerintah agar dapat menjaga ketahanan energi secara berkelanjutan,” ujar Ketua Ikatan Alumni Lemhanas Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar saat menjadi keynote speaker dalam acara FGD tersebut, Kamis (17/10).
Agum menyatakan ketahanan energi adalah elemen kunci dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan suatu negara. Ketika ketahanan energi melemah, keamanan nasional pun terancam. Negara juga menjadi rentan akan gangguan suplai energi yang dapat menyebabkan instabilitas di berbagai sektor, termasuk sosial, ekonomi, dan politik.
Untuk menopang ketahanan energi nasional, FSPPB dan ISC Lemhanas mendesak Pemerintah untuk segera merevisi UU Migas. Ada beberapa hal kenapa langkah ini perlu segera diambil. Pertama, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan terdapat 29 pasal pada UU Migas 22/2001 yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD1945 (Putusan MK No. 002/PUU-I/2003; No. 20/PUU-V/2007; dan No. 36/PUU-X/2012).
Kedua, lifting minyak mentah nasional bertahun-tahun tidak mencapai target APBN dan terus menurun. Dan ketiga, pengelolaan migas nasional cenderung liberal dengan mengutamakan kepentingan investasi dan produksi semata-mata, sehingga menjauhkan kepentingan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan nasional.
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Energi Nasional, Kurtubi, menegaskan bahwa penerapan UU Migas No. 22/2001 berdampak dalam hal penurunan eksplorasi migas. Karena itulah, perlu segera direvisi atau bahkan dicabut.
“Regulasi ini perlu segera direvisi. Atau dicabut. Pemerintah harus mengeluarkan Perppu untuk mengembalikan tata kelola migas kepada Pertamina, dan memastikan kuasa pertambangan tetap di tangan negara,” ungkap Kurtubi.
Dia juga menegaskan bahwa penerapan UU No.22/2001 telah menciptakan ketidakpastian hukum dan regulasi yang kaku. Kondisi ini pada akhirnya menghambat investor untuk terlibat dalam eksplorasi baru. Ketidakpastian ini juga telah menurunkan minat investasi yang berdampak pada stagnasi di sektor energi.
Sementara Prof. Juajir Sumardi, selaku akademisi, mengingatkan bahwa untuk mencapai ketahanan energi yang kuat diperlukan diversifikasi sumber energi dan pengelolaan yang lebih efisien. Sementara revisi terhadap regulasi, seperti UU Migas, harus mencerminkan komitmen untuk memperkuat peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam eksplorasi dan pengelolaan energi, serta menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Di sesi penutup FGD, Presiden FSPPB, Arie Gumilar, menegaskan peran vital Pertamina sebagai pilar utama dalam menjaga kedaulatan energi nasional. FSPPB juga turut menekankan urgensi revisi UU Migas sebagai upaya memperkuat ketahanan energi nasional.
“Sejak lama kami telah melakukan kajian komprehensif yang telah disampaikan kepada pemerintah dan lembaga terkait. Revisi UU Migas ini merupakan hasil diskusi panjang antara FSPPB dan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas. Perjuangan FSPPB terkait kedaulatan energi sangat selaras dengan visi Pasal 33 UUD 1945,” ujar Arie.