Listrik ASEAN Masih Bergantung pada Energi Fosil •

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Jakarta, – Pertumbuhan listrik ASEAN yang mencapai 3,6 persen setahun lalu ternyata masih sepenuhnya dipasok oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Ini terjadi lantaran kapasitas energi terbarukan tidak tumbuh cukup tinggi. Indonesia sendiri berkontribusi pada kenaikan listrik PLTU batubara hingga 11 terawatt hour (TWh), yang menjadikannya sebagai pengguna PLTU paling besar.

Hal tersebut diungkapkan dalam laporan terbaru lembaga think tank EMBER bertajuk “ASEAN’s Clean Power Pathways: 2024 Insights, yang diperoleh PETROMINER, Selasa (22/10).

Menurut laporan tersebut, pada 2023, bahan bakar fosil masih mendominasi pembangkitan listrik ASEAN yang mencapai 74 persen, dengan batubara berkontribusi hingga 44 persen. Sementara energi terbarukan hanya menyumbang 26 persen, turun dari 28 persen pada tahun 2022.

“Tingginya ketergantungan pada energi fosil ini membuat emisi karbon ASEAN naik 6,6 persen menjadi 718 juta ton per CO2 pada tahun lalu. Indonesia dan Vietnam menjadi penyumbang terbesar, masing-masing 14 juta ton dan 20 juta ton,” tulisnya.

Laporan tersebut memperkirakan permintaan listrik di ASEAN akan meningkat 41 persen pada tahun 2030. Tren ini menegaskan pentingnya negara-negara ASEAN untuk lebih cepat beralih ke energi terbarukan.

Beberapa proyeksi menghitung kapasitas energi terbarukan ASEAN harus naik hingga 3-5 kali lipat pada tahun 2035. Namun dari perencanaan yang sudah ada, pertumbuhan listrik di wilayah ini masih akan dipenuhi oleh pembangkit listrik berbasis energi fosil. Pasalnya, beberapa negara masih bergantung pada energi kotor ini, seperti Singapura dan Malaysia yang mengandalkan gas dan Indonesia yang masih mempertahankan batubara.

Analis Senior  Kebijakan Kelistrikan Asia Tenggara EMBER, Dinita Setyawati, mengatakan turunnya biaya energi surya sebesar 55-81 persen dan angin 33-35 persen jadi peluang bagi ASEAN untuk segera melakukan diversifikasi energi.

“Dengan turunnya harga energi terbarukan, wilayah ASEAN memiliki peluang untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan, terutama energi surya dan angin, untuk memenuhi pertumbuhan permintaan listrik dan target iklim,” ujar Dinita.

ASEAN Power Grid

Lebih lanjut, laporan EMBER mengungkap bahwa pengembangan energi surya dan angin di wilayah ASEAN akan saling melengkapi, jika didukung pembangunan jaringan listrik lintas negara.

Contohnya faktor kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di semenanjung Malaysia dan Singapura yang mencapai puncak 20 persen pada Januari-April 2024, selaras dengan kapasitas faktor pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Indonesia yang mencapai 30 persen pada Mei-Oktober 2024. Kondisi ini membantu menyeimbangkan permintaan dan pasokan listrik lintas negara.

Saat ini, dari 18 rencana jaringan listrik lintas negara, delapan jaringan sudah selesai dibangun dan memungkinkan ekspor listrik hingga 7,7 gigawatt (GW). Jaringan listrik yang menghubungkan Laos, Thailand, Malaysia hingga Singapura jadi tonggak penting kerja sama energi regional ASEAN. ASEAN Power Grid berikutnya yang disasar yakni jaringan listrik lintas Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Interkoneksi jaringan listrik yang lebih baik, pemanfaatan baterai penyimpanan, dan adopsi teknologi inovatif yang mendukung fleksibilitas hijau dapat menopang transisi energi di ASEAN. Hal ini juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, ketahanan energi, dan keberlanjutan.

“Transisi ASEAN ke energi terbarukan menjanjikan dibukanya lapangan kerja baru, ketahanan energi yang lebih kuat, dan pertumbuhan ekonomi. Upaya bersama melalui program interkoneksi dan kerja sama internasional menawarkan solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi regional ini,” kata Dinita.

Lapangan kerja yang muncul dari transisi energi akan menguntungkan negara-negara produsen batubara. Di Indonesia, sektor energi terbarukan dapat menghasilkan 96 ribu pekerjaan baru di daerah penghasil batubara. Dengan realokasi dan pelatihan ulang, lebih dari 1 juta pekerjaan baru bisa menggantikan 31 ribu pekerjaan yang hilang akibat transisi energi.

Bioenergi Mahal

Di ASEAN, bioenergi dilihat sebagai energi terbarukan yang mempunyai potensi signifikan untuk mengembangankan ekonomi. Namun, laporan EMBER mencatat, biaya rata-rata produksi listrik bioenergi tercatat yang paling mahal dibandingkan energi terbarukan lainnya.

Biaya bioenergi bisa empat kali lebih mahal dari biaya energi air di beberapa negara. Sebagai contoh, biaya pembangkit listrik berbasis biomassa di Indonesia, Malaysia, dan Thailand berkisar US$ 59-98 per megawatt hour (MWh), lebih mahal dari biaya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Laos yang hanya US$ 25 per MWh.

Di Indonesia, biaya bioenergi bisa lebih mahal karena adanya pembakaran dan teknologi biomassa yang utamanya berasal dari limbah perkebunan, seperti residu minyak sawit. Dengan rata-rata biaya konstruksi hingga US$ 4.400 per megawatt elektrik (MWe), biaya rata-rata listrik bioenergi bisa menyentuh US$ 87 per MWh. Ini menunjukkan tantangan finansial bioenergi dibandingkan energi terbarukan lainnya.