Ini Strategi untuk Keluar dari Rendahnya Investasi EBT •
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Jakarta, – Indonesia resmi memiliki pemimpin baru dengan dilantiknya Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, serta pembentukan kabinet Merah Putih pada 21 Oktober 2024. Sederet pekerjaan rumah menanti pemerintahan yang baru ini, terutama untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Upaya ini bertujuan mencegah memburuknya dampak krisis iklim dan menarik investasi untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi delapan persen.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Presiden Prabowo ntuk memperkuat kerja sama internasional, terutama kerja sama Selatan-Selatan, untuk mempercepat transisi energi serta memobilisasi investasi dan pendanaan agar dapat mewujudkan net zero emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat. Salah satunya adalah memperkokoh kolaborasi teknologi dan investasi energi baru terbarukan (EBT) dengan China yang sudah dimulai sebelumnya.
“IESR mencermati adanya potensi untuk meningkatkan investasi China yang dapat mendukung pembangunan infrastruktur energi terbarukan di Indonesia,” ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, pada lokakarya IESR berjudul “The Energy Transition Workshop: Potential Collaboration between Indonesia and China for Green Development and Clean Energy Cooperation,” Senin (21/10).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2023, China menjadi investor terbesar kedua di Asia setelah Singapura, dengan nilai investasi mencapai US$ 7,44 miliar (sekitar Rp 111,6 triliun). Sementara menurut American Enterprise Institute, khusus di sektor EBT, total investasi China ke Indonesia dari tahun 2006 hingga 2022 mencapai US$ 12,6 juta (sekitar Rp18,7 miliar).
Menurut Fabby, kerja sama dengan China dapat dilakukan di tiga sektor utama. Pertama, investasi infrastruktur EBT dan penyimpan energi (battery storage). Kedua, manufaktur dan rantai pasok teknologi energi terbarukan. Dan ketiga, dekarbonisasi industri, termasuk industri pengolahan mineral.
Dia menilai, Pemerintah Prabowo-Gibran memerlukan strategi yang tepat untuk keluar dari tren rendahnya investasi di sektor EBT dalam lima tahun terakhir. Investasi di sektor EBT dan konservasi energi Indonesia tahun 2023 tercatat hanya US$ 1,5 miliar.
Angka ini masih jauh dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target NZE tahun 2050 berdasarkan perhitungan IESR, yaitu sekitar US$ 1,3 triliun pada tahun 2050, atau sekitar US$ 40-50 miliar per tahun mulai tahun 2025.
Untuk itu, sinergi antar kementerian seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian BUMN, Bappenas dan Kementerian Luar Negeri diperlukan untuk mendorong harmonisasi kebijakan yang menciptakan iklim investasi yang menarik bagi pelaku usaha dan investor.
Tidak hanya itu, Pemerintah juga harus melakukan tinjauan kebijakan dan regulasi serta proses perijinan yang membuat investasi EBT tidak bankable. Pemerintah juga perlu menyiapkan kerangka kerja sama strategis dengan China yang difokuskan pada tiga aspek, yakni investasi, pembangunan rantai pasok industri energi bersih, dan dekarbonisasi industri khususnya penurunan emisi dari PLTU captive (captive coal power plant).
“Dalam jangka pendek, Pemerintah bisa mencari sumber pendanaan lunak (concessional) untuk implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dari China, dengan mengedepankan kepentingan nasional dan asas saling menghormati (mutual respect),” ujar Fabby.