Transisi Energi Perlu Berlangsung Adil dan Terarah •

Para pembicara di sesi 1 hari pertama Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024, Senin (4/11).

Jakarta, – Transisi energi berkeadilan harus menjadi prinsip utama untuk mencapai target net zero emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Ini juga sekaligus mendukung pencapaian visi Indonesia Emas 2045.

Percepatan transisi energi berkeadilan juga bakal membantu Indonesia melaksanakan kesepakatan pada Conference of Parties (COP-28) untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat (triple up) dan menggandakan upaya efisiensi energi (double down) pada tahun 2030 untuk menjaga kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius.

Menurut Ketua Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Prof. Bambang Brodjonegoro, untuk mencapai seluruh target tersebut diperlukan pendekatan yang adil, terarah dan inklusif. Tidak hanya itu, bagi Indonesia, peningkatan kapasitas energi terbarukan dan efisiensi energi juga memerlukan langkah nyata yang memprioritaskan kesetaraan sosial dan ekonomi.

“Pendekatan transisi yang adil dan terarah perlu dilakukan secara kolaboratif, didukung oleh kebijakan yang tepat, investasi infrastruktur, penguasaan teknologi, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM),” ungkap Bambang pada pembukaan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024, Senin (4/11).

Dia menjelaskan, pendekatan seperti itu perlu menyelaraskan antara kebijakan ekonomi dan energi untuk mendukung penciptaan lapangan kerja, resiliensi ekonomi dan pertumbuhan berkelanjutan. Ini dilakukan guna memastikan tidak seorangpun yang tertinggal dalam proses transisi energi.

Bambang juga menegaskan pentingnya pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan untuk mengubah pandangan bahwa transisi energi adalah peluang ekonomi, bukan sebuah beban. Dengan begitu, dapat menarik lebih banyak investasi dan menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan. Selain itu, integrasi praktik berkelanjutan dalam ekonomi Indonesia akan mendukung agenda Asta Cita dari kepemimpinan Prabowo-Gibran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Investasi

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebutkan bahwa pelaksanaan transisi energi yang adil dan tertata memerlukan komitmen dan kepemimpinan kuat yang mampu mendorong pemangku kepentingan mengambil sejumlah langkah nyata. Mulai dari meningkatkan bauran energi terbarukan, melaksanakan efisiensi energi, dan membangun kolaborasi lintas sektor, hingga mengatasi hambatan-hambatan investasi untuk mencapai target nasional.

“Peningkatan bauran energi terbarukan membutuhkan peningkatan investasi yang akan meningkatkan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi tinggi 8 persen yang menjadi target Pemerintah,” ujar Fabby.

Adanya target yang jelas dan peningkatan permintaan teknologi energi bersih dalam negeri akan mendorong minat investasi pada manufaktur industri teknologi energi bersih jika didukung kebijakan dan regulasi yang memadai. Pertumbuhan industri manufaktur domestik ini akan menyumbang pertumbuhan ekonomi. Selain itu, ketersediaan energi bersih juga dapat menjadi daya tarik untuk investasi hilirisasi maupun industri manufaktur lainnya.

“Untuk itu, Pemerintah perlu menyelaraskan perencanaan pembangunan, menyelaraskan kebijakan transisi energi dengan kebijakan industri dan juga peningkatan kualitas SDM,” jelas Fabby.

Sementara Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Prof. Eniya Listiani Dewi, menyebutkan bahwa investasi energi terbarukan di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan proyek energi terbarukan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, terdapat peluang investasi sebesar US$ 15,9 miliar.

Menurut Eniya, Pemerintah berupaya menarik investasi ini dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 11/2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, serta Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/2024 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

“Langkah ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur energi terbarukan sambil membangun industri energi terbarukan dalam negeri,” tegasnya.

PLTU Batubara

Dalam kesempatan yang sama, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Dominic Jermey CVO, OBE,  menyampaikan bahwa sebagai bagian dari aksi mitigasi iklim, Inggris telah mengakhiri operasi PLTU batubara terakhirnya bulan lalu. Sehingga kini, seluruh pasokan listrik di Inggris tidak ada yang berasal dari batubara.

“Inggris berkomitmen untuk berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga dengan berbagai mitra global termasuk Indonesia, serta berkolaborasi bersama karena perubahan iklim merupakan tantangan global yang membutuhkan aksi global,” ungkap Dominic.

Di Indonesia, menurutnya, sejauh ini investasi senilai lebih dari US$ 800 juta telah disetujui dalam Just Energy Transition Partnership (JETP). Pembiayaan lainnya dari JETP internasional senilai US$ 5-6 miliar sedang dinegosiasikan dan siap mengalir untuk mendukung transisi energi terbarukan. Indonesia tidak sendirian dalam perjalanan transisi energi. Sebagai mitra global, Inggris, bersama anggota International Partners Group (IPG) lainnya dalam kemitraan JETP, senantiasa mendukung upaya dekarbonisasi sektor energi Indonesia.