Ini Respon di Asia atas Kemenangan Donald Trump •

Perhitungan sementara hasil Pemilu AS hingga, Kamis siang (7/11).

Jakarta, – Trump kembali terpilih dalam Pemilihan Presiden AS tahun 2024. Hal ini memicu reaksi terhadap implikasinya di kalangan pakar perubahan Iklim dan transisi energi bersih global. Pasalnya, sejumlah program yang berdampak pada mitigasi perubahan iklim akan dihentikan oleh Trump.

Selain mempengaruhi capaian target dekarbonisasi nasional dan regional berbagai negara di Asia, keputusan Trump perihal energi juga akan menimbulkan dampak krisis iklim yang lebih luas khususnya di wilayah Asia.

 Trump sebelumnya berjanji akan mencabut dana dari Inflation Reduction Act, sebuah kebijakan yang telah mengalokasikan US$ 400 miliar untuk mendukung energi bersih dan mitigasi perubahan iklim. Dia juga mengisyaratkan keinginan untuk memperkuat penggunaan bahan bakar fosil serta menarik diri dari Perjanjian Paris.

Meski begitu, para pakar energi di Asia mengatakan bahwa kemajuan energi bersih yang kuat membuat transisi energi tidak dapat dihindari. Selain itu, negara-negara di Asia sudah melihat bagaimana mempercepat energi terbarukan serta mengurangi ketergantungan pada energi fosil berguna bagi negara mereka.

“Dengan terpilihnya kembali Trump,  Kita harus memperkuat seruan untuk tindakan global agar tetap berada di jalur 1,5°C, terutama melalui penghentian penggunaan bahan bakar fosil, transisi energi terbarukan yang adil, serta penyaluran dana dan sumber daya iklim yang menjadi kewajiban negara-negara maju kepada negara-negara yang paling rentan di dunia,” ujar Gerry Arances, Direktur Eksekutif di Center for Energy, Ecology, and Development (CEED) – kelompok advokasi iklim yang berbasis di Filipina.

Dalam beberapa bulan ke depan, terpilihnya kembali Trump akan membawa konsekuensi iklim yang lebih luas bagi Asia. Bulan Januari 2024 lalu, Presiden Biden menghentikan sementara persetujuan untuk ekspor LNG dari proyek-proyek yang tertunda dan yang masih dalam tahap perencanaan. Namun para ahli berpendapat bahwa terpilihnya kembali Trump dapat mengakhiri moratorium ini dengan lebih cepat. Para ahli tersebut mengatakan bahwa perubahan moratorium ini dapat mempengaruhi capaian target dekarbonisasi nasional dan regional berbagai negara di Asia.

“Para eksportir LNG AS yang mengandalkan potensi pertumbuhan pasar LNG Asia harus ingat bahwa LNG tidak akan mendarat dengan murah di Asia. Asia Tenggara jelas bukan Jepang dan Korea Selatan. Seiring dengan menurunnya biaya energi terbarukan dan biaya penyimpanan serta meningkatnya pengawasan terhadap emisi metana LNG, negara-negara Asia akan membuat pilihan mereka dengan hati-hati,” Putra Adhiguna, Direktur Pelaksana Energy Shift Institute, lembaga think tank energi di Asia Tenggara.

Dia menjelaskan, jika semua proyek gas yang direncanakan di Asia terealisasi, kapasitas gas di kawasan ini akan berlipat ganda. Menurut Global Energy Monitor, ini juga akan meningkatkan impor LNG sebesar 80 persen.

Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa gas yang diekspor memiliki emisi yang lebih tinggi dibandingkan batubara. Keduanya tidak dapat dibangun baru jika dunia ingin menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat dan menghindari bencana iklim yang tidak dapat dipulihkan.

Pembangunan seperti itu juga tidak sejalan dengan perkiraan permintaan gas di wilayah tersebut. Permintaan gas di Jepang dan Korea Selatan, importir LNG terbesar di Asia, diperkirakan akan mengalami penurunan secara konsisten beberapa tahun ke depan.

Menurut International Energy Agency, pesatnya pertumbuhan energi diperkirakan akan membuat permintaan gas mencapai puncaknya sebelum 2035. Setelah itu, permintaan gas di Asia Tenggara diproyeksikan menurun hampir 40 persen antara 2035 dan 2050, sejalan dengan kebijakan yang telah diumumkan negara-negara di kawasan ini.