Tahun Ini, Emisi Bahan Bakar Fosil Catat Rekor Tertinggi •

Laporan terbaru Global Carbon Budget.

Jakarta, – Emisi karbon global dari bahan bakar fosil mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Sejauh ini, belum ada tanda-tanda dunia akan mengurangi emisi karbon dari sektor energi fosil agar segera mencapai puncaknya. Di tahun 2024 ini, diperkirakan mencapai rekor tertinggi 37,4 miliar ton, naik 0,8 persen dari tahun 2023.

Temuan ini mengacu pada laporan terbaru Global Carbon Budget, yang diperoleh PETROMINER, Rabu (13/11). Laporan tahunan ini telah melalui proses tinjauan sejawat (peer-reviewed) dari Global Carbon Project yang bekerja sama dengan Future Earth dan World Climate Research Programme.

Sejak tahun 2006, laporan ini telah menjadi standar emas dalam melaporkan emisi karbon dan penyerapan karbon, serta mengukur kemajuan menuju pencapaian tujuan Perjanjian Paris. Laporan ini selalu menjadi bahan yang berguna sekaligus acuan dalam KTT tahunan Conference of the Parties (COP).

Laporan tersebut juga menemukan bahwa emisi karbon dari sektor alih fungsi lahan cenderung turun dalam 10 tahun terakhir, dengan perkiraan emisi tahun ini sebesar 4,2 miliar ton. Namun, pada tahun ini, baik emisi karbon dari bahan bakar fosil maupun perubahan penggunaan lahan diperkirakan akan meningkat, menyusul terjadinya kekeringan yang memperburuk emisi akibat deforestasi dan kebakaran hutan selama fenomena El Niño tahun 2023-2024.

Dengan lebih dari 40 miliar ton CO2 yang dilepaskan setiap tahunnya, tingkat CO2 di atmosfer terus meningkat. Tentunya, ini mendorong semakin parahnya pemanasan global dan dampaknya. Meski demikian, tidak ada tanda-tanda emisi dari pembakaran fosil telah mencapai puncaknya.

“Waktu semakin terbatas untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris,” ungkap kata Pierre Friedlingstein dari Global Systems Institute, Universitas Exeter, sekaligus pemimpin studi laporan Global Carbon Budget.

Pierre mendesak para pemimpin dunia yang sedang berkumpul di COP29 segera mengambil langkah tegas dan cepat untuk mengurangi emisi bahan bakar fosil. Dengan begitu, semua pihak memiliki kesempatan untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah 2°C dari tingkat pra-industri.

“Hingga kita mencapai net zero untuk emisi CO2, suhu dunia akan tetap meningkat dan menyebabkan dampak yang semakin parah,” tegasnya.

Sementara Glen Peters, dari CICERO Center for International Climate Research dan juga tim studi laporan Global Carbon Budget, mengakui ada banyak tanda kemajuan positif di tingkat negara. Glen memperkirakan puncak emisi CO2 fosil global akan segera tercapai, namun tetap saja masih sulit direalisasikan.

“Aksi iklim adalah masalah kolektif, dan meskipun pengurangan emisi secara bertahap terjadi di beberapa negara, peningkatan emisi masih terus terjadi di negara lain. Kemajuan di semua negara perlu dipercepat dengan cukup cepat untuk menempatkan emisi global pada jalur penurunan menuju,” ungkapnya.

Grafik emisi karbon dari bahan bakar fosil di Indonesia.

Emisi Indonesia

Di Indonesia sendiri, emisi karbon mengalami penurunan namun masih cenderung tinggi. Hal ini dikarenakan sektor energi Indonesia masih didominasi oleh sektor energi, meski memiliki potensi energi terbarukan yang berlimpah. Emisi karbon Indonesia dari bahan bakar fosil tercatat sebesar 733,2 juta ton pada tahun 2023, turun dibandingkan level emisi pada tahun 2022.

Dari sektor lahan, Indonesia, bersama dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo, menyumbang sekitar 60 persen dari total emisi CO2 akibat perubahan penggunaan lahan global. Indonesia menjadi salah satu negara yang berperan besar untuk mengurangi emisi global akibat deforestasi dan perubahan fungsi lahan, yang terus menjadi tantangan besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Pengkampanye Energi Fosil Trend Asia, Novita Indri, mengatakan bahwa di tengah tren penurunan emisi global, ada kekhawatiran atas apa yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Masih dibangunnya PLTU batubara baru hingga penggunaan turunannya seperti gasifikasi dan batubara tercairkan sebagai bagian dari energi baru akan membayangi upaya keberhasilan Indonesia untuk menekan laju emisi.

“Sudah seharusnya, Indonesia serius untuk melepaskan diri dari ketergantungan batubara demi keberhasilan mencapai Perjanjian Paris dan hidup di bumi yang layak,” tegas Novita.

Sementara Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad, menyebutkan bahwa Indonesia telah memiliki komitmen untuk menurunkan emisi melalui inisiatif FOLU Net Sink 2030. Berdasarkan rencana tersebut, sektor hutan dan lahan akan menyerap emisi lebih banyak dibanding emisi yang dilepaskan ke atmosfer.

“Komitmen tersebut diakui dan diapresiasi oleh dunia dan negara-negara pemilik hutan tropis terluas. Sayangnya, Indonesia belum secara tegas menempatkan posisinya dalam mencegah deforestasi, salah satunya untuk bergabung dalam Forest and Climate Leaders’ Partnership (FCLP),” ungkap Nadia.

Untuk memastikan inisiatif ini berjalan dan diimplementasikan dengan nyata, menurutnya, Pemerintah Indonesia harus memiliki komitmen yang kuat, serta menyelaraskan antara kebijakan penurunan emisi sektor hutan dan lahan dengan kebijakan energi agar tidak kontraproduktif.