Menghijaukan Pesisir Morowali: Menelisik Proses Restorasi Mangrove Hengjaya Mineralindo

Jika berdasarkan data-data penelitian yang terhimpun secara global, diketahui mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang bernilai tinggi bagi makhluk hidup. Namun, mengapa semakin ke sini, ancaman eksistensi mangrove sering terjadi? Bukankah, krisis ekosistem mangrove dapat menjadi bencana tersendiri bagi manusia dan seluruh makhluk hidup di dalamnya? Jika krisis lingkungan terekskalasi, bukankah manusia dan struktur yang melingkupinya perlu merencanakan dan menyelematkan dunia sesegera mungkin?

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem spesifik yang unik dan memiliki fungsi ekologis dan ekonomis di sepanjang pantai laut daerah tropik, namun sayangnya kini menjadi salah satu ekosistem yang paling terancam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perubahan ekosistem mangrove yang terjadi saat ini di banyak daerah di Indonesia tentu saja dipengaruhi oleh perubahan tata guna lahan, penebangan liar, sedimentasi berlebih dan pencemaran, perubahan iklim, serta kenaikan permukaan air laut. Dan jika penyebab tersebut tidak diikuti oleh pencegahan dan penyelamatan, maka ancaman serius akan terjadi secara signifikan seperti halnya perubahan iklim dan terganggunya ekosistem lingkungan.

Hengjaya Mineralindo, sebagai perusahaan nikel yang berlokasi di site Tangofa, Morowali, Sulawesi Tengah, merupakan salah satu entitas bisnis yang telah melihat ancaman lingkungan di wilayah pesisir Morowali tempat di mana perusahaan beroperasi. Hal ini diketahui dari survei yang dilakukan secara internal, bahwa ditemukan secara umum ekosistem pesisir yang terdiri salah satunya oleh mangrove mengalami penurunan jumlahnya dikarenakan adanya aktivitas pemanfaatan sumber daya yang berlebih dan penebangan mangrove secara masif.

Oleh karena itu, perusahaan mencoba untuk melakukan gerakan restorasi dan penyelamatan hutan mangrove bersama masyarakat (Green Shore). Tujuannya jelas, tidak hanya mengembalikan fungsi ekosistem yang telah rusak, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya konservasi mangrove dan menciptakan model rehabilitasi mangrove yang berkelanjutan dan dapat direplikasi di wilayah lain. Serta, upaya ini sebagai bentuk nyata komitmen perusahaan dalam mencapai berbagai target lingkungan baik nasional maupun internasional, seperti halnya capaian meningkatkan tutupan hutan mangrove sebesar 20% pada tahun 2030 sesuai dengan dekade pemulihan ekosistem PBB 2021-2030.

Program Green Shore merupakan program lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat yang telah diinisiasi oleh Hengjaya Mineralindo sejak awal 2024 berkolaborasi dengan Universitas Halu Oleo dan pemerintah serta masyarakat lokal Desa One Ete. Kolaborasi yang dilakukan tidak hanya terpusat pada aktivitas implementasi, melainkan juga mulai dari perencanaan hingga pada aspek pemantauan dan evaluasi. Konsep kolaborasi ini berdasar pada strategi CSEP collaborative stakeholders for environmental projects (CSEP) yang telah dilakukan oleh perusahaan sejak lama sebagai jaminan percepatan pencapaian output dan keberlanjutan program lingkungan di masa mendatang.

Proses Restorasi Mangrove Pesisir

Sebelum diimplementasikannya program Green Shore, perusahaan telah melakukan survei awal menggunakan metode rapid assesment for coastal and marine resources (RACMR) untuk meninjau secara cepat bagaimana kondisi terkini di wilayah tertentu kaitannya dengan ekosistem mangrove. Metode ini dititikberatkan pada justifikasi pihak eksternal berpengalaman melalui observasi, pengambilan data, dan pengukuran dengan bantuan visualisasi berupa foto dan video. Dan berdasarkan hasil survei, perusahaan menetapkan pesisir Desa One Ete sebagai lokasi yang strategis untuk dilakukan restorasi mangrove dengan melihat berbagai faktor seperti kerapatan tananaman, jenis mangrove, tipe substrat, dan kandungan stok karbon yang ada di wilayah tersebut.

Pada saat awal impelementasi, perusahaan memulai dengan sosialisasi yang melibatkan akademisi Universitas Halu Oleo dan perwakilan kelompok masyarakat. Sosialisasi ini penting dilakukan sebagai jembatan awal perusahaan untuk menyelaraskan fungsi dan tujuan dilakukannya restorasi mangrove bagi kebermanfaatan lingkungan dan sosial. Bagi masyarakat lokal, keberadaan mangrove seringkali disalahartikan sebagai tanaman yang tidak memiliki nilai dan sebagai penyebab utama tingginya kehadiran nyamuk yang dapat meningkatkan kasus demam berdarah. Sehingga mereka memilih untuk menebas seluruh pohon mangrove yang lokasinya tepat di halaman depan atau belakang rumah. Kesalahpahaman ini yang menjadi titik tolak perlunya keselarasan pemikiran dan tujuan di antara perusahaan, pemerintah desa dan masyarakat, sehingga eksistensi mangrove dapat dipahami sebagai aspek penyelamat bagi ekosistem lingkungan pesisir secara khusus dan mampu meningkatkan nilai ekonomi masyarakat lokal di masa mendatang.

Ketika sosialisasi telah dilakukan, perusahaan membentuk kelompok kerja masyarakat lokal yang akan berkolaborasi bersama dengan Universitas Halu Oleo dalam pelaksanaan restorasi mangrove. Harapannya, keterlibatan penuh masyarakat lokal mampu menjadi pendorong perubahan melalui skema penciptaan agen-agen keberlanjutan lingkungan pesisir. Seperti yang dipaparkan sebelumnya, ruang lingkup kolaborasi stakeholder dilaksanakan dari proses awal pembibitan lokal, penyulaman hingga pada penanaman di pesisir dengan luasan 1 hektare. Tidak hanya itu saja, masyarakat lokal yang tergabung di dalam kelompok, diajak oleh perusahaan untuk melakukan praktik langsung bagaimana membuat nursery bibit mangrove sebagai kantung cadangan pohon apabila terjadi kerusakan pada bibit yang telah ditanam di lahan restorasi. Pembuatan nursery sederhana ini diletakkan di wilayah pesisir yang tidak jauh dari jangkauan pemantauan masyarakat.

Salah satu agenda kolaborasi yang telah dilakukan yakni penanaman mangrove dalam peringatan Hari Cinta Puspa & Satwa Nasional (HCPSN) dan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) yang berlangsung pada 21 November 2024 lalu. Pada penyelenggaraan kegiatan tersebut, Hengjaya Mineralindo menggandeng berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintan daerah Morowali, pemerintah lokal Desa One Ete, TNI-AL, universitas, masyarakat lokal dan entitas bisnis lainnya. Para stakeholder telah berhasil menanam 1000 bibit mangrove berjenis rhizopora mucronate, sehingga secara total, jumlah mangrove yang telah tertanam di lahan restorasi berjumlah 5000 bibit pohon. Kegiatan ini bukan hanya seremonial kolektif semata yang berfokus pada euforia nasional, melainkan juga sebagai momen bersama untuk berkomitmen dalam penyelamatan ekosistem mangrove di Desa One Ete. Keseriusan tersebut ditandai dengan penandatanganan surat komitmen di antara multipihak mulai dari pemerintah, swasta dan masyarakat lokal. Melalui pernyataan keseriusan ini, diharapkan penyelamatan mangrove di Desa One Ete dapat tercapai dengan baik dan berkelanjutan.

Setelah penanaman berlangsung, maka kedepannya perusahaan akan bersama kelompok masyarakat dan Universitas Halu Oleo melakukan pemantauan secara rutin untuk memastikan bahwa area restorasi dapat terjaga sebagaimana mestinya. Pemantauan rutin ini dilakukan per minggu sebagai langkah preventif perusahaan dalam menghadapi tantangan yang seringkali terjadi ketika melakukan restorasi mangrove yakni ancaman gelombang laut, pasang surut, dan serangan herbivora di wilayah pesisir rumah warga. Perusahaan meyakini bahwa melalui keterlibatan masyarakat dapat membantu mendukung upaya global untuk melindungi cadangan karbon biru secara inklusif. Selain melakukan pemantauan, perusahaan juga telah berinovasi untuk menangani ancaman gelombang laut melalui pemanfaatan ban bekas dari kendaraan dump truck dan rock pile yang melingkari garis wilayah restorasi mangrove. Harapannya upaya ini dapat melindungi bibit pada fase awal pertumbuhan.

Program Green Shore telah menjadi salah satu pilot project bagi masyarakat lokal di Desa One Ete dalam menyelamatkan ekosistem pesisir melalui kolaborasi yang inklusif di antara perusahaan, universitas dan pemerintah. Perusahaan berharap bahwa strategi gerakan restorasi mangrove yang dilakukan saat ini dapat menjadi gambaran bagi perusahaan nikel dan pemangku kepentingan di Sulawesi dan Indonesia untuk tetap memerhatikan kelestarian lingkungan. Serta, sebagai upaya dalam mendukung tujuan nasional dan global untuk mencapai kehidupan manusia dan alam secara berkelanjutan di masa depan.

Sudah saatnya kita lindungi ekosistem pesisir. Keberlanjutan hutan mangrove bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi upaya bersama yang melibatkan semua pihak—masyarakat lokal, pemerintah, akademisi, dan sektor swasta. Dengan bekerja sama, kita dapat memastikan kelestarian ekosistem mangrove, melindungi keanekaragaman hayati, dan menciptakan manfaat berkelanjutan bagi generasi mendatang. Mari jadikan semangat kolaborasi sebagai warisan nyata bagi bumi kita.

***

Penulis: Harry Cahyono