Akselerasi Pemanfaatan Hidrogen Hijau melalui Peta Jalan Komprehensif • Petrominer

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Jakarta, Petrominer – Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang hidrogen hijau merupakan kunci untuk mempercepat dekarbonisasi industri dan transportasi. Apalagi, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sebesar 3.687 gigawatt (GW), yang dapat menjadi modal utama untuk mengembangkan hidrogen hijau.
Sebagai bagian dari upaya pemanfaatan hidrogen untuk mendukung dekarbonisasi tahun 2060 atau lebih cepat, Indonesia telah memiliki Strategi Hidrogen Nasional (SHN) sejak tahun 2023. Namun SHN belum secara rinci merumuskan strategi untuk mempercepat pengembangan hidrogen hijau, di mana hidrogen dihasilkan dari proses elektrolisis air dengan sumber energi terbarukan.
Seiring dengan upaya Kementerian ESDM menyusun peta jalan pemanfaatan hidrogen dan amonia rendah karbon, IESR pun mendorong agar Pemerintah secara serius memprioritaskan peta jalan pengembangan hidrogen hijau. Dengan begitu, hidrogen hijau dapat diproduksi secara berkesinambungan dengan harga yang kompetitif pada tahun 2030.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan Pemerintah harus mampu memanfaatkan potensi besar energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi domestik, sekaligus memproduksi hidrogen hijau dan ammonia hijau untuk pemakaian dalam negeri maupun sebagai komoditas ekspor. Periode 2025–2030 merupakan masa yang krusial untuk membangun ekosistem yang dapat mempercepat keekonomian hidrogen hijau untuk bersaing dengan hidrogen yang berasal dari proses steam methane reforming (SMR) yang bersumber dari gas alam.
Pada tahun 2023, konsumsi hidrogen di Indonesia diperkirakan mencapai 1,75 juta ton per tahun, dengan produksi urea menggunakan 88 persen, produksi amonia 4 persen, dan kilang minyak 2 persen dari total konsumsi tersebut. Namun, hidrogen yang digunakan masih didominasi oleh hidrogen abu-abu, yang memiliki intensitas karbon tinggi.
Menurut Fabby, untuk mendorong permintaan hidrogen hijau, langkah awal dapat dimulai dengan memenuhi kebutuhan hidrogen dan ammonia dari industri pupuk, semen, dan sektor lain yang sulit didekarbonisasi.
“Untuk membuat harga hidrogen hijau lebih kompetitif, biaya listrik dari energi terbarukan harus ditekan di bawah US$ 0,05 per kWh, karena akan menentukan biaya produksinya,” ungkapnya.
Fabby menegaskan, infrastruktur hidrogen juga perlu dibangun sedekat mungkin dengan lokasi permintaan sehingga dapat mengurangi biaya transportasi. Selain itu, Pemerintah dapat memberikan insentif dan subsidi untuk mendukung penurunan biaya produksi hidrogen hijau, sehingga dapat bersaing dengan hidrogen abu-abu dan biru.
Strategi Pasar
Lebih lanjut, IESR juga mendorong Indonesia belajar dari pengalaman negara maju dalam merancang strategi pasar hidrogen yang berkelanjutan. Melalui kerja sama dengan Pemerintah Inggris dalam proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI), IESR berupaya membangun Indonesia Green Hydrogen Accelerator, sebuah inisiatif yang mendukung akselerasi hidrogen hijau sesuai dengan Strategi Hidrogen Nasional Indonesia 2023.
Manajer Green Energy Transition Indonesia (GETI) IESR, Erina Mursanti, mengatakan Inggris telah berhasil mengembangkan pasar hidrogen melalui kebijakan seperti Low Carbon Hydrogen Standard (Standar Hidrogen Rendah Karbon). Pemerintah Inggris menargetkan 10 GW produksi hidrogen rendah karbon pada tahun 2030 dan menyediakan dana sebesar £240 juta untuk Net Zero Hydrogen Fund (NZHF) atau Dana Hidrogen Nol Emisi.
Pemerintah Inggris juga mempromosikan pengembangan hidrogen hijau melalui insentif, kemitraan dengan industri, riset dan pengembangan, serta pembangunan infrastruktur pendukung. Indonesia dapat mengadopsi strategi serupa untuk membangun ekosistem hidrogen hijau yang kompetitif, menarik investasi internasional, dan mempercepat transisi energi.
Indonesia telah mengidentifikasi 17 lokasi potensial untuk produksi hidrogen hijau, dengan perkiraan biaya produksi berkisar antara US$ 1,9 hingga 3,9 per kg (atau US$ 14 hingga 28,9 per MMBTU) pada tahun 2040. Dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025, IESR mencatat biaya ini relatif rendah dibandingkan biaya produksi hidrogen hijau global saat ini, yang berada di kisaran US$ 2,7 hingga 12,8 per kg.
Namun, harga gas bersubsidi yang saat ini ditetapkan sebesar US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri menciptakan tantangan bagi daya saing hidrogen hijau. Untuk mengatasi hal ini, pengurangan subsidi harga gas dan penerapan harga karbon (carbon pricing) dapat meningkatkan daya saing pemanfaatan hidrogen hijau untuk industri domestik.
“Pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang kuat dalam mendorong pengembangan ekosistem hidrogen hijau, termasuk melalui kebijakan, regulasi, insentif dan penguatan target produksi hidrogen hijau serta perbaikan iklim investasi,” ujar Erina.