Dongkrak Investasi untuk Atasi Terbatasnya Anggaran Transisi Energi • Petrominer

Potensi sumber daya energi terbarukan di Indonesia yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi.

Jakarta, Petrominer – Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi di sektor energi terbarukan. Buruknya iklim investasi dinilai sebagai penyebab target investasi energi terbarukan. Buktinya, investasi di energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) di tahun 2024 hanya mencapai US$ 1,8 miliar dari target US$ 2,6 miliar.

Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, kondisi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor struktural. Seperti struktur industri kelistrikan, kebijakan dan regulasi yang kurang berkualitas, risiko negara (country risk), serta preferensi terhadap batubara melalui kebijakan domestic market obligation (DMO).

“Untuk itu, IESR mendorong pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi energi terbarukan dengan meningkatkan kualitas kebijakan dan regulasi, mereformasi kebijakan DMO batubara, subsidi energi, serta proses pengadaan pembangkit di PLN,” ungkap Fabby, Jum’at (14/2).

Tidak hanya itu, dia juga menekankan pentingnya penyederhanaan perizinan, insentif fiskal untuk meningkatkan bankability proyek energi terbarukan, dan kemudahan akses bagi konsumen untuk mendapatkan energi terbarukan. IESR juga menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam laporan Capaian Sektor ESDM tahun 2024, dengan mencantumkan target tahun 2025 serta menyertakan data capaian bauran energi terbarukan tahun 2024.

Berdasarkan data KESDM, capaian bauran energi terbarukan di tahun 2024 meningkat satu persen dari 13,9 persen di tahun 2023 menjadi 14,1 persen. Angka ini terbilang kecil jika dibandingkan target bauran yang mesti dicapai pada tahun 2024 sebesar 19,5 persen. IESR pun telah berulang kali mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi dan menyiapkan strategi yang inovatif untuk memecah mandeknya pencapaian target bauran energi terbarukan.

Menurut Fabby, Pemerintah dapat memanfaatkan kemitraan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk membiayai proyek energi terbarukan strategis. Komitmen pendanaan dari negara-negara anggota IPG dan GFANZ perlu dimobilisasi untuk menarik investasi yang lebih besar.

Meski begitu, dia menyoroti bahwa pencairan pendanaan JETP masih terkesan lambat karena pemerintah kurang cepat menyiapkan usulan proyek yang bankable, mereformasi kebijakan-kebijakan kunci yang menghambat pengembangan energi terbarukan selama ini, dan mengatasi ketidakpastian implementasi JETP pasca pergantian Pemerintah Indonesia pada Oktober tahun lalu.

“Walaupun target bauran energi terbarukan 23 persen direncanakan digeser ke tahun 2030, Pemerintah harus berupaya sebesarnya untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di tahun ini,” tegas Fabby.

Di tengah pemotongan anggaran tahun ini, Pemerintah juga didesak untuk mengoptimalkan investasi swasta dan publik untuk energi terbarukan. Investasi swasta untuk pembangkit energi dilakukan melalui PLN di antaranya untuk proyek-proyek PLTS skala utilitas, dan investasi PLTS atap oleh konsumen industri, bisnis dan rumah tangga, yang tidak membutuhkan subsidi pemerintah tapi memerlukan kemudahan perijinan dan kuota PLTS yang lebih besar oleh PLN.

IESR mengapresiasi keputusan Pemerintah untuk mengupayakan pensiun dini PLTU Cirebon dan menggantinya dengan 700 MW PLTS dengan penyimpanan baterai, 346 MW PLTS, 1.000 MW PLTB, serta 12 PLTSa. Namun, proses keputusan akhir untuk pensiun PLTU Cirebon yang sudah berlangsung sejak tahun 2022 belum selesai hingga sekarang.

“Proses pensiun dini PLTU Cirebon I menjadi referensi dan pembelajaran penting untuk upaya pensiun dini sejumlah PLTU yang secara teknis-ekonomis lebih menguntungkan bagi PLN daripada dioperasikan lebih lanjut. Sesuai kajian IESR ada 4,6 GW PLTU yang berpotensi diakhiri operasinya hingga 2025,” ujarnya.

Fabby juga mendorong pemerintah Indonesia untuk mulai merencanakan pembatasan  produksi batubara yang trennya selalu naik pesat dalam 10 tahun terakhir. Tahun ini, produksi batubara nasional mencapai 836 juta ton, melebihi target 710 juta ton. Kenaikan produksi batubara justru menjadi sinyal melemahnya komitmen transisi energi Indonesia.

“Pemerintah perlu menghitung manfaat dan biaya untuk pengakhiran operasi PLTU secara bertahap hingga tahun 2050, terutama dampaknya terhadap biaya produksi listrik dan subsidi listrik dalam jangka panjang. Kajian IESR menunjukkan bahwa pada tahun 2030, biaya produksi listrik bisa lebih murah jika pembangkit energi terbarukan menyumbang lebih dari 30 persen dalam sistem kelistrikan,” ungkapnya.