Atasi Polusi, Terapkan BBM Standar Euro IV •

Analis Kebijakan Lingkungan IESR, Ilham R. F. Surya.

Jakarta, –  Pemerintah didesak untuk segera mengantisipasi puncak polusi berbagai kota di Indonesia. Terutama Jabodetabek, yang cenderung terjadi pada Juni hingga Agustus setiap tahunnya karena bertepatan dengan puncak musim kemarau. Salah satunya adalah dengan mendorong peningkatan kualitas bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia ke standar Euro IV.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa,  mengungkapkan polusi udara di Jakarta telah menambah beban biaya kesehatan terkait polusi seperti pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan penyakit jantung iskemik. Data BPJS menunjukkan klaim pengobatan terkait polusi udara di Jakarta hampir mencapai Rp 1,2 triliun pada tahun 2023.

“Indonesia perlu segera menerapkan Euro IV dengan didukung kebijakan yang terintegrasi, disertai dengan  pengawasan dan penegakan aturan yang ketat,” ujar Fabby, Rabu (18/12).

Sejalan dengan itu, menurutnya, Pemerintah juga perlu memastikan kesiapan kilang domestik untuk memenuhi BBM Euro IV. Meski membutuhkan investasi signifikan, kolaborasi pemerintah dan swasta dalam teknologi serta infrastruktur kilang akan membawa manfaat yang jauh lebih besar bagi lingkungan, kesehatan, dan ekonomi.

Kajian Bersama

Menurut Analis Kebijakan Lingkungan IESR, Ilham R. F. Surya, penerapan Euro IV akan berimplikasi pada peningkatan biaya produksi BBM  sekitar Rp 200 – Rp 500 per liter. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempersiapkan ruang fiskal untuk mengantisipasi dampak ekonomi dari penerapan peta jalan Euro IV tersebut.

“Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan skema pembiayaan peningkatan biaya produksi BBM dengan berbagai skenario seperti tambahan biaya jika ditanggung oleh pemerintah, dibebankan kepada konsumen atau dengan membatasi akses BBM bersubsidi bagi kelompok masyarakat tertentu,” jelasnya.

Dia menyampaikan bahwa IESR bersama Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC UI), Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), dan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia dan didukung oleh Katadata Green dan ViriyaENB telah melakukan kajian bersama. Hasil kajian ini dituangkan dalam laporan bertujudul “Analisis Dampak Kebijakan Peningkatan Kualitas BBM terhadap Aspek Lingkungan, Kesehatan dan Ekonomi.”

Kajian ini menunjukan bahwa penerapan BBM Euro IV mulai tahun 2025 hingga 2030 mendatang dapat mengurangi polusi udara di Jabodetabek, termasuk menurunkan polutan particulate matter (PM) 2.5 hingga 96 persen serta SOx, NOx hingga 82-98 persen. Sedangkan tanpa perubahan, beban polusi dari kendaraan diestimasi bakal meningkat 30-40 persen pada tahun 2030 nanti, karena adanya peningkatan jumlah kendaraan dan jumlah aktivitas transportasi.

BBM Euro IV memiliki kandungan sulfur setara 50 ppm. Sebaliknya, lebih dari 90 persen BBM yang beredar di pasar Indonesia berkualitas rendah dengan kandungan sulfur tinggi, mencapai 150-2.000 ppm, tergantung jenis bahan bakarnya. Tingginya kandungan sulfur dalam BBM menyebabkan rendahnya kualitas udara, meningkatnya masalah kesehatan, dan  menambah biaya pengobatan.

“Kajian ini secara khusus menilai dampak peningkatan kualitas udara terhadap tiga penyakit dari 12 daftar penyakit akibat polusi di Jakarta, yaitu pneumonia, jantung iskemik, dan PPOK. Total penurunan beban biaya dari pengurangan klaim BPJS untuk pengobatan ketiga penyakit ini di tahun 2030 mencapai Rp 550 miliar, dengan rincian pneumonia sebesar Rp 246 miliar, jantung iskemik Rp 268 miliar, dan PPOK Rp 36 miliar,” jelas Ilham.

Kajian ini juga mendorong pemerintah untuk menerapkan Euro IV dengan memastikan ketersediaan BBM EURO IV sesuai peta jalan, serta kesiapan kilang domestik untuk menyediakannya.

Selain itu, meskipun peningkatan kualitas BBM ini merupakan langkah yang krusial, langkah tersebut perlu didukung dengan berbagai kebijakan transportasi berkelanjutan lainnya. Mulai dari penyediaan transportasi publik yang nyaman, pengetatan baku mutu emisi dan efisiensi bahan bakar (fuel economy) kendaraan bermotor, pengalihan ke kendaraan listrik, hingga penerapan manajemen lalu lintas yang ramah lingkungan (eco-sensitive traffic management).