Balik ke Bahan Bakar Fosil, Transisi Energi Melambat •

Ribuan surya panel terpasang di wilayah kerja Pertamina Hulu Rokan sebagai kontribusi PHR untuk pengurangan emisi.

Jakarta, – Industri minyak dan gas bumi (migas) telah mengupayakan berbagai cara transisi energi untuk mendekarbonisasi operasinya. Namun meningkatnya kekhawatiran keamanan energi di tengah perang Ukraina telah mengembalikan fokus pada bahan bakar fosil. Akibatnya, perusahaan-perusahaan migas mulai mengurangi upaya transisi energi mereka.

“Kondisi ini kemungkinan akan berlanjut hingga akhir tahun 2024. Meski peralihan menuju energi rendah karbon diperkirakan tetap terus berlanjut, namun dengan kecepatan yang lebih lambat,” ungkap GlobalData dalam laporan tematik terbarunya berjudul “Energy Transition in Oil and Gas,” yang diperoleh PETROMINER, Senin (23/9).

Laporan GlobalData ini menyoroti perkembangan transisi energi di industri migas. Perusahaan-perusahaan sedang beralih ke energi terbarukan dan opsi rendah karbon lainnya dalam upaya transisi energi mereka. Sebagian besar perusahaan industri terkemuka telah menetapkan tahun 2050 sebagai tujuan jangka panjang untuk mencapai net zero emission (NZE). Banyak janji pun dibuat dan bergantung pada keberhasilan implementasi target sementara untuk tahun 2030.

“Keamanan energi telah menjadi perhatian bagi sebagian besar negara setelah pecahnya perang Rusia-Ukraina. Gangguan rantai pasok telah mendorong negara-negara beralih ke bahan bakar fosil yang tersedia dengan mudah, sehingga meningkatkan permintaan migas. Di sisi lain, dorongan untuk kemandirian energi dan inflasi yang tinggi telah menggagalkan adopsi energi bersih,” ujar analis migas GlobalData, Ravindra Puranik.

Perusahaan migas terkemuka telah menetapkan sendiri target dekarbonisasi untuk jangka menengah dan panjang, tentunya dengan mengandalkan teknologi yang ada dan yang sedang berkembang. Pada awalnya, perusahaan semakin banyak berinvestasi di pembangkit listrik terbarukan, terutama tenaga surya dan angin.

“Pada tahun 2020, beberapa perusahaan migas telah mengumumkan target transisi energi yang ambisius. Namun, kehebohan seputar transisi energi agak mereda menjelang tahun 2024. Masalah profitabilitas dan inflasi bersama dengan suku bunga yang tinggi telah menyebabkan ketidakpastian dalam menjalankan proyek energi terbarukan,” ujar Puranik.

Porsi bahan bakar fosil dalam bauran pembangkit listrik global pun menyusut dari tahun ke tahun. Ruang ini semakin ditempati oleh energi terbarukan, terutama energi surya dan angin. Perusahaan migas merambah ke pembangkit listrik terbarukan sebagai bagian dari upaya transisi energi mereka.

Upaya seperti penangkapan karbon (CCS) terutama berfungsi untuk mengurangi emisi, sementara produksi hidrogen, pembangkit listrik terbarukan, dan bahan bakar rendah karbon juga menawarkan alternatif bagi konsumen akhir untuk bahan bakar fosil. Penyimpanan energi, sebagian besar dalam bentuk baterai, adalah jalur transisi lain yang sedang dieksplorasi oleh industri migas.

“Transisi energi industri migas memerlukan perencanaan jangka panjang untuk mengurangi atau menghilangkan emisi karbon. Dalam jangka pendek hingga menengah, perusahaan harus memasukkan bahan bakar transisi serta sumber energi rendah karbon dan nol karbon dalam portofolio mereka. Meski terjadi perlambatan berkala, transisi energi di industri migas akan terjadi dan membuka jalan bagi bauran energi global baru di masa mendatang,” ungkap Puranik menyimpulkan.