Gawat, Program B40 Berpotensi Sebabkan Minyak Sawit Defisit • Petrominer

Peningkatan pencampuran Biodiesel menjadi B35 telah melalui serangkaian uji, baik yang dilakukan di laboratorium, maupun melalui pelaksanaan Uji Jalan B40.

Jakarta, Petrominer – Kebijakan pengembangan biodiesel 40 persen (B40) berisiko tinggi menyebabkan minyak sawit nasional defisit. Apalagi, produksi minyak sawit nasional tahun 2025 ini diperkirakan turun. Ini menjadi tantangan besar bagi Pemerintah dalam membagi pasokan sawit untuk kebutuhan pangan dan produksi bioenergi.

Tahun 2025 ini, produksi minyak sawit nasional diperkirakan turun 5,1 persen. Hal ini akibat dari penurunan produktivitas lahan karena sebagian besar tanaman sawit sudah masuk usia non produktif sehingga perlu diremajakan. Sementara permintaan sawit domestik akan tinggi melihat pengembangan biodiesel serta program nasional lain seperti Makan Bergizi Gratis.

Kepala Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Marselinus Andry, mengatakan penerapan B40 akan memicu peningkatan permintaan CPO yang lebih tinggi di dalam negeri. Di saat yang sama, Pemerintah memberlakukan program Makan Bergizi Gratis yang juga memicu peningkatan kebutuhan CPO untuk kebutuhan pangan di dalam negeri.

“Kami menghitung, proyeksi kebutuhan bahan baku dari CPO untuk penerapan B40 mencapai 14,8 juta metrik ton (MT) atau naik sebesar 31,3 persen dari tahun 2024,” ujar Andry, Kamis (6/2).

Penerapan B40 akan meningkatkan kuota biodiesel nasional menjadi 15,6 juta kiloliter (KL) dari sebelumnya 12,98 juta KL dalam program B35. Karena itulah, SPKS menilai kebijakan kebijakan mandatori pencampuran biodiesel sebesar 40 persen ini berpotensi menyebabkan defisit minyak sawit nasional. Ditambah lagi proyeksi penurunan produksi dan peningkatan kebutuhan domestik, akan menyebabkan Indonesia kekurangan 1,04 juta MT minyak sawit.

“Pemerintah perlu mewaspadai berbagai kebijakan yang diambil agar ada keseimbangan sehingga ironi kelangkaan minyak goreng pada awal 2022 yang diikuti rendahnya harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani akibat kebijakan pelarangan ekspor CPO tidak berulang kembali di tahun 2025,” ujar Andry.

Kenaikan permintaan biodiesel menyebabkan kenaikan kebutuhan bahan baku berupa minyak sawit mentah (CPO). (Sumber data SPKS)

Solusi

Lebih lanjut, dia menegaskan jangan sampai rencana pengembangan biodiesel justru diselesaikan dengan cara perluasan lahan sawit yang berujung pada peningkatan angka deforestasi. Catatan sejumlah lembaga masyarakat, program B40 memerlukan perluasan lahan sawit mencapai 138 ribu ha. Padahal ada solusi lain yang bisa dilakukan pemerintah tanpa perlu membuka lahan baru.

Salah satu solusi dari pemerintah untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri dalam negeri yakni kebijakan pengetatan ekspor limbah pabrik kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO). Ini diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit.

Kebijakan yang mulai berlaku pada 8 Januari 2025 itu dilakukan karena volume ekspor POME dan HAPOR lebih tinggi dari volume ekspor CPO pada tahun 2023 dan 2024. Namun ini dinilai tidak wajar.

Pasalnya, kebijakan pengetatan ekspor POME, HAPOR dan UCO tidak menyelesaikan akar persoalan defisit minyak sawit untuk kebutuhan domestik. Kebijakan tersebut justru akan berdampak buruk bagi petani sawit swadaya, karena pasokan bahan baku pabrik kelapa sawit (PKS) brondolan juga berasal dari petani swadaya.

Dari segi produksi dan kualitas, menurut Andry, produksi CPO dari bahan baku yang dipasok petani swadaya potensial dapat memenuhi kebutuhan domestik terutama produksi biodiesel nasional. Karena itu pemerintah perlu mengatur rantai pasok dari petani swadaya termasuk pasokan brondolan tandan buah segar dari petani yang diolah pabrik kelapa sawit.

“Langkah ini penting untuk memastikan jaminan bahan baku untuk biodiesel dan di sisi lain menguntungkan petani swadaya yang selama ini tersingkir dalam rantai pasok CPO untuk industri hilir, termasuk biodiesel,” jelasnya.

Saat ini, model rantai pasok industri biodiesel tidak memungkinkan petani sawit swadaya mendapatkan nilai tambah. Rantai pasok biodiesel masih bergantung pada korporasi besar, anak perusahaannya serta perusahaan pihak ketiga yang menjadi pemasok. Belum ada kemitraan antara perusahaan supplier biodiesel dengan koperasi milik petani swadaya.

Padahal Indonesia memiliki potensi sekitar 5,31 juta ha perkebunan sawit swadaya. Dengan asumsi produktivitas CPO per ha dalam setahun sebesar 2,8 MT, maka potensi produksi CPO dapat mencapai 14,87 juta MT atau 15,94 juta KL biodiesel.

“Potensi tersebut dapat menutupi kebutuhan produksi biodiesel B40. Potensi terbesar dari perkebunan sawit swadaya berada di Sumatera dan Kalimantan,” ungkap Andry.

Menurutnya, potensi minyak jelantah (UCO) yang tidak tergarap di dalam negeri juga bisa menjadi alternatif untuk biodiesel. Sejauh ini, penggunaan UCO belum diminati dan tidak didukung oleh subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit untuk pengembangan biodiesel.

“Pelibatan petani dalam rantai pasok dan alternatif UCO adalah solusi menjawab tantangan defisit minyak sawit untuk produksi biodiesel domestik,” tegas Andry.