Harga Nikel Merosot karena EV Boom Gagal Terwujud


Melalui Penambang Logam

Menurut laporan Forbes, bisnis nikel menjadi sangat menguntungkan sehingga miliarder Kiki Barki, yang membangun kekayaannya di pertambangan batu bara, kini mengarahkan Harum Energy miliknya ke arah nikel. Harum mempercepatnya ekspansi nikel tahun ini melalui serangkaian kesepakatan strategis. Sedangkan harga nikel berakhir tahun 2024 di bawah penutupan tahun 2023.

Harum Berperan Besar di Tengah Rendahnya Harga Nikel

Pada bulan Januari, Harum meningkatkan kepemilikannya di pabrik peleburan nikel Indonesia Westrong Metal Industry menjadi hampir 81% dengan biaya $215 juta. Pada bulan April, anak perusahaannya, Tanito Harum Nickel (THN), telah mengakuisisi 51% saham Blue Sparking Energy senilai $206 juta. Meskipun masih dalam tahap pengembangan, fasilitas penyulingan ini bertujuan untuk memproduksi 67.000 ton nikel per tahun pada tahun 2026.

Harum juga bermitra dengan Grup Tsingshan Abadi milik taipan logam Tiongkok Xiang Guangda pada bulan September, dengan Tsingshan mengakuisisi 49% saham di unit nikel Harum. Menurut laporan Nomura, kolaborasi dengan Tsingshan tidak hanya akan meningkatkan produksi tetapi juga membuka peluang aset di masa depan.

Nikel dan EV: Sesuatu Sedang Terjadi

Di kawasan seperti Amerika Utara, industri nikel terus bergulat dengan kombinasi lemahnya permintaan dan kelebihan pasokan. Laporan mengaitkan hal ini dengan antisipasi tingginya harga nikel yang didorong oleh perkiraan lonjakan pasar kendaraan listrik yang tidak berjalan dengan baik.

Faktor lainnya adalah perusahaan China saat ini sedang mengembangkan baterai yang tidak bergantung pada nikel. Faktanya, beberapa perusahaan Tiongkok kini menggembar-gemborkan model litium ferro-fosfat ini sebagai alternatif baterai kendaraan listrik berbasis nikel.

Komposisi baterai LFP terutama terdiri dari besi fosfat yang dikombinasikan dengan litium, yang memberi mereka beberapa keunggulan penting dibandingkan pesaingnya yang berbasis nikel. Salah satu manfaat paling signifikan adalah berkurangnya dampak terhadap lingkungan. Karena menggunakan besi dan fosfat, baterai LFP dilaporkan tidak terlalu berbahaya bagi ekosistem dan komunitas lokal.

Terutama diproduksi oleh perusahaan Tiongkok seperti CATL dan BYD, baterai LFP juga sekitar 20% lebih murah dibandingkan baterai lithium-ion tradisional yang dibuat dengan nikel. Beberapa pabrikan mobil Indonesia sudah menggunakan baterai LFP. Faktanya, produk-produk ini mewakili a masalah yang signifikan dalam pemilu baru-baru ini di negara tersebut.

Hubungan Tiongkok dengan Indonesia Tetap Kuat

Jika permintaan baterai LFP terus meningkat, para penambang nikel di Indonesia dapat menghadapi beberapa tantangan yang signifikan. Misalnya, pentingnya nikel di pasar kendaraan listrik global menjadi topik utama dalam pertemuan baru-baru ini antara Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto.

Pada Forum Bisnis Indonesia-Tiongkok di Beijing, kedua pemimpin menyelesaikan perjanjian bisnis senilai $10 miliar yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi strategis di sektor-sektor seperti pangan, teknologi ramah lingkungan, dan bioteknologi. Mereka juga membahas bidang-bidang penting seperti konservasi air, sumber daya maritim dan pertambangan nikel.

Dalam pernyataan bersama, kedua negara menekankan rencana untuk memperkuat kerja sama di bidang kendaraan energi baru, baterai lithium dan proyek fotovoltaik, serta beberapa sektor lainnya. Mereka juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk memajukan transisi energi global, mengamankan akses terhadap sumber daya mineral dan menstabilkan rantai pasokan.

Oleh Sohrab Darabshaw

Bacaan Teratas Lainnya Dari Oilprice.com