Industri Batik Terapkan Industry 4.0 Secara Partial dan Berkelanjutan •

(Kiri ke kanan) Gunawan (moderator), Alexandra Arri Cahyani Direktur Industri Aneka dan Kimia, Sandang dan Kerajinan Kemenperin, Muhammad A. Karim, General Manager Paradise Batik Sony Rachmadi selaku praktisi ERP, dan Khairul Umam dosen Kimia dan Tekstil di STTT Bandung.

Jakarta, –Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin menyebutkan belasan industri kecil dan menengah (IKM) batik sudah mulai menerapkan industry 4.0 dalam proses produksinya. Langkah ini akan menjadikan perusahaan IKM batik tersebut berpotensi naik kelas termasuk, kualitasnya dapat ditingkatkan.

Direktur Industri Aneka dan Industri Kecil dan Menengah Kimia, Sandang, dan Kerajinan, Alexandra Arri Cahyani, mengatakan IKM batik menerapkan industry 4.0 secara partial. Ada yang baru menerapkan dari sisi pemasukan barang, seperti penggunaan bahan baku. Namun ada juga yang menerapkannya di sisi output ketika barang sudah selesai diproduksi.

“Kami menekankan aplikasi rantai pasok industry 4.0 nantinya akan menjadikan perusahaan IKM berpotensi naik kelas, termasuk kualitasnya dapat ditingkatkan. Apalagi jika nantinya produk yang dihasilkan secara kualitas memenuhi standar ekspor,” ujar Alexandra usai peluncuran penerbitan buku berjudul “Batik Berkelanjutan: Rantai Pasok Industri 4.0,” di Jakarta, Kamis (3/10).

Menurutnya, yang saat ini urgent dilakukan adalah sosialisasi ke sejumlah sentra batik terutama yang ada di wilayah Jawa, yang dianggap paling siap mengaplikasikannya. Dengan secara bertahap mengaplikasikan industry 4.0, maka ke depannya sistem produksi akan lebih efisien, terutama dalam hal manajemen inventory dan stok barang. Pasalnya, akan mudah terlihat volume produk di lini produksi dengan semua divisi yang saling terkoneksi.

Batik merupakan industri padat karya yang menyerap hingga 200 ribu tenaga kerja. Proses produksi batik juga membutuhkan tahapan yang panjang, kompleks dan waktu yang lama.

Oleh karena itu, Ditjen IKMA Kemenperin mendorong industri batik dapat bertransformasi dengan digitalisasi secara perlahan dan berkala sehingga tercipta efisiensi produksi.

“Kemenperin mendorong industri batik untuk bisa menerapkan ERP (Enterprises Resources Planning) yang mengintegrasikan proses bisnis perusahaan, baik dari sisi produksi, pemasaran, pembukuan berbasis sistem akuntansi, sumber daya manusia, pembelian, logistik, dan berbagai proses bisnis lainnya,” ungkap Alexandra.

Terkait buku yang baru diluncurkan, kajian dalam buku ini mencakup telaah tentang batik dan proses pembatikan, serta terkait sejarah, filosofi, dan rantai pasok industri batik. Buku ini juga berisi penjelasan mengenai rantai pasok batik dari hulu ke hilir.

“Buku ini juga membedah contoh IKM batik yang berhasil mengimplementasikan proses bisnis ERP dengan baik sehingga bertransformasi menjadi perusahaan yang lebih berdaya saing,” papar Alexandra

Buku ini diterbitkan sebagai acuan agar pelaku IKM di sentra IKM batik mulai dapat menerapkan ERP. Sistem ini dipakai untuk mengintegrasikan data agar ekosistem batik lebih efisien dan efektif.

“Kami percaya IKM dapat menerapkan digitalisasi ini secara bertahap,” tegasnya.

Salah satu IKM batik yang bertransformasi dengan digitalisasi ini adalah CV. Paradise Batik asal Yogyakarta. Proses produksi Paradise Batik sudah cukup baik, sehingga dapat dijadikan percontohan penerapan ERP untuk mencapai aspek produksi yang efisien dan berkualitas.

General Manager CV. Paradise Batik, Muhammad Anwar Karim, menyampaikan bahwa implementasi teknologi industry 4.0 baru diterapkan pada pertengahan tahun ini. Dia mengakui, selama ini masih ada pelaku industri batik yang proses produksinya belum memenuhi aspek ramah terhadap lingkungan dan memiliki proses yang kurang efisien.

“Kami mulai berubah dengan asumsi, industri yang terstandardisasi dan industri yang didukung dengan penerapan industry 4.0 adalah industri masa depan. Target yang mulai terlihat adalah adanya efisiensi dalam bentuk keterbukaan informasi. Kami masih berada di tahapan pemetaan, masuk ke existing kondisi yang ada, dan kemudian diimplementasikan,” ujar Karim.

Dalam pengimplementasian ERP, Paradise Batik berkoordinasi dengan startup yang dapat mendukung penerapan model bisnis tersebut.

“Kami sampaikan bahwa kami tidak dapat disamakan dengan pelaku industri besar, karena proses pengembangan bisnis kami perlu dilakukan secara lebih berhati-hati dan terukur. Sekarang, dengan penerapan ERP di satu smartphone, kami bisa membaca persediaan kain, termasuk bisa melihat sampai di mana proses produksi,” ungkap Karim.

Sementara Dosen Kimia dan Tekstil Politeknik Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung, Khaerul Umam, mengungkapkan, Kemenperin terus berupaya mempermudah para pelaku industri batik untuk dapat mengakses kebutuhan produksi dan rantai pasok industri. Salah satunya melalui bahasa yang mudah dimengerti.