Komitmen Politik Lemah, Transisi Energi di Persimpangan Jalan •
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, saat meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025, Kamis (5/12).
Jakarta, – Pemerintah memang sudah berjanji untuk melakukan pengurangan emisi dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. Namun kenyataannya transisi energi di Indonesia belum membuahkan hasil.
Buktinya, bauran energi fosil terus naik. Bahkan pasokan listrik dari PLTU mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir. Sedangkan pertumbuhan energi terbarukan jauh lebih rendah. Selain itu, intensitas energi juga masih di bawah target yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Demikian sorotan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) yang secara konsisten memantau perkembangan dan arah transisi energi di Indonesia. Hal ini dituangkan dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025, yang diperoleh PETROMINER, Kamis (5/12).
IESR menilai, transisi energi di Indonesia berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon.
IESR mencatat keragu-raguan dalam menentukan arah dan laju transisi energi dapat mengancam pencapaian target net zero emission (NZE) sebelum tahun 2050 dan sekaligus melemahkan peluang Indonesia menjadi pemain utama di pasar energi terbarukan global.
Saat meluncurkan laporan IETO 2025, yang telah terbit sejak tahun 2018 lalu, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan transisi energi di tahun 2024 masih dalam tahap konsolidasi. Ini merupakan hasil dari pergantian kepemimpinan nasional, dengan target dan prioritas baru serta kondisi ketidakpastian ekonomi global dan Indonesia.
Berdasarkan pengukuran kesiapan bertransisi (Transition Readiness Framework/TRF) yang dikembangkan IESR sejak tahun 2022, konsistensi kebijakan dan kepemimpinan dipandang para pelaku bisnis sebagai salah satu penghambat terbesar dalam agenda transisi energi di Indonesia.
Hal yang sama juga terpantau di TRF 2024. Meskipun terjadi kemajuan signifikan dalam daya saing biaya teknologi dan bahan bakar rendah karbon, namun transisi energi masih terhambat oleh kurangnya komitmen politik, regulasi yang kurang menarik, dan tata kelola yang tidak mendukung.
Fabby menyatakan tahun 2025 menjadi titik kritis untuk merumuskan strategi dan kebijakan yang reformatif untuk mempercepat transisi energi yang adil dan efisien.
Dia juga menyinggung strategi Pemerintah yang cenderung berfokus pada teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS/CCUS). Padahal, teknologi ini belum matang, mahal dan berisiko, dibandingkan teknologi energi surya, dan angin, serta battery atau penyimpan energi yang sudah tersedia di pasar dan harganya semakin kompetitif.
Sementara banyak negara di dunia telah berkomitmen pada COP-28 tahun 2023 untuk berkontribusi pada upaya global untuk menggandakan efisiensi energi (double down) dan meningkatkan tiga kali lipat (triple up) pada tahun 2030. Komitmen tersebut akan memperbesar peluang investasi dan pendanaan untuk energi terbarukan dan efisiensi energi.
“Kabar baiknya, Presiden Prabowo Subianto dalam forum KTT G20 Brasil menyatakan Indonesia akan mengakhiri PLTU batubara pada tahun 2040. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan amanat di dalam Perpres 112/2022 untuk mempensiunkan PLTU batubara lebih awal dari umur keekonomiannya,” ungkap Fabby.
Bahan Bakar Subsidi
Manajer Riset IESR yang juga menjadi penulis IETO 2025, Raditya Wiranegara, mengungkapkan bahwa semua sektor masih bergantung secara signifikan pada bahan bakar fosil. Ini didominasi oleh penggunaan batubara, LPG, dan bahan bakar minyak (BBM).
Di sektor ketenagalistrikan, 81 persen energinya berasal dari energi fosil pada tahun 2023. Tidak hanya itu, PLTU di luar wilayah usaha PLN (captive) kapasitasnya berkembang menjadi 21 gigawatt (GW) di tahun 2023, sehingga berkontribusi naiknya emisi sebesar 27 persen di tahun yang sama.
Ditambah lagi sebanyak 87 persen rumah tangga menggunakan LPG yang disubsidi, dengan total subsidi mencapai Rp 83 triliun pada kuartal keempat 2024.
Sementara energi terbarukan hanya memiliki kontribusi bauran energi yang sangat kecil. Misalnya, di sektor industri, energi terbarukan hanya menyumbang 6,52 persen dari total energi yang digunakan.
“Pemerintah perlu progresif mengurangi bertahap subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkan subsidinya ke sektor energi terbarukan. Selain itu, pernyataan Presiden Prabowo tentang pensiun dini PLTU batu bara pada 2040 harus segera direalisasikan, dimulai dari PLTU yang paling tidak efisien, alih-alih melengkapi PLTU dengan teknologi CCS/CCUS,” ujar Raditya.
Dari analisis IESR, pensiun dini PLTU Cirebon-1 akan membutuhkan biaya pengurangan karbonnya sekitar US$ 31-40 per tCO2e. Angka ini lebih rendah dibandingkan CCS yang mencapai US$ 62-324 per tCO2e. Tidak hanya itu, Pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan PLTU captive dan mendorong industri beralih ke energi terbarukan.