KPI: Kilang Balongan Siap Produksi Solar Rendah Sulfur •

Direktur Utama Kilang Pertamina Internasional (KPI), Taufik Adityawarman, saat memaparkan rencana KPI melakukan optimalisasi dukungan pengurangan emisi karbon melalui pengembangan green refinery, Kamis (10/10).

Jakarta, –PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) menegaskan kesiapannya dalam mendukung program pemerintah untuk mengurangi emisi karbon. Salah satunya melalui pengembangan fasilitas produksi BBM ramah lingkungan dari green refinery.

“Program green refinery ini telah dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) untuk mendukung target Net Zero Emission di tahun 2060,” ungkap Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman, dalam diskusi bertajuk “Decarbonizing the Future: The Role of Green Fuel in Reducing Emissions” yang diselenggarakan oleh Editor Energy Society (E2S), Kamis (10/10).

Taufik memaparkan, sejumlah proyek kilang ramah lingkungan sedang berjalan, termasuk pengembangan kilang Cilacap Tahap 2 yang diproyeksikan pada tahun 2027 dengan kapasitas produksi 6 ribu barel Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) per hari (bph). Adapun Tahap 1 telah selesai dengan kapasitas 3 ribu barel. Secara keseluruhan Kilang Cilacap merupakan salah satu kilang terbesar Pertamina dengan kapasitas pengolahan 348 ribu bph.

Selain itu, kilang Plaju ditargetkan rampung pada tahun 2030 dengan kapasitas pengolahan biofuels 20 ribu bph, kilang Dumai pada tahun 2031 dengan kapasitas 30 ribu bph, dan kilang Balikpapan pada tahun 2034 dengan kapasitas 30 ribu bph.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, KPI juga sudah siap menjalankan program Pemerintah jika diberikan mandat untuk meluncurkan produk BBM solar dengan kadar sulfur rendah. Saat ini, Kilang Balongan sudah siap untuk memproduksi BBM dengan kadar sulfur 10 ppm.

Sementara kilang lainnya masih bervariasi. Namun, pada tahun depan, kilang Balikpapan akan mulai beroperasi dan mampu memproduksi BBM EURO 5 dengan kadar sulfur 10 ppm, baik untuk gasoline maupun diesel.

“Ini akan meningkatkan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan di wilayah Jawa dan Kalimantan,” jelas Taufik.

Saat ini, KPI mampu memproduksi biofuel melalui beberapa metode. Salah satunya melalui co-processing bahan baku nabati yang dicampur dengan conventional feedstock pada existing process. Proses ini dilalui untuk memproduksi Sustainable Aviation Fuel (SAF).

“Kami melakukan modifikasi unit THDT untuk coprocessing SAF di Kilang Cilacap dengan kapasitas 9 ribu bph,” ujarnya.

Dalam memproduksi biofuel, KPI juga melakukan pengolahan bahan baku nabati (CPO Based) dengan komposisi 100 persen yang seluruhnya menjadi feedstock (Refined Bleached Deodorized Palm Oil/ RBDPO). Ini dilakukan untuk memproduksi green diesel atau B100.

“HVO dari kilang Cilacap merupakan konversi dari feedstock RDBPO, khususnya produk renewable diesel 100 persen atau B100 dengan kapasitas 3 ribu bph,” ungkap Taufik.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Arie Rachmadi, menjelaskan bahwa penggunaan biofuel adalah salah satu cara terbaik untuk bisa menekan emisi, yang selama ini banyak dihasilkan oleh kendaraan. Indonesia berada di jalur yang tepat dengan keberhasilan program biodiesel, sejalan dengan tren global yang semakin mengarah pada penggunaan biofuel.

“Salah satu fokus yang harusnya bisa dikejar adalah penggunaan gasoline ramah lingkungan karena konsumsi terbesar ada di bensin gasoline,” ujar Arie.

Sementara Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak, mengatakan tantangan terbesar untuk bisa mendorong program biofuel, selain pasokan bahan baku, adalah harganya yang masih tinggi. Ini dinilai wajar karena energi baru terbarukan (EBT) masih dianggap energi mahal karena penggunaannya tidak sebanyak energi fosil.

“Untuk itu penetrasi dan dukungan dari pemerintah menjadi krusial. Harus ada kemauan baik dari pemerintah caranya dengan memberikan insentif untuk memastikan ketersediaan feedstock. Kebijakan feed in tariff  juga harus dikeluarkan,” ungkap Ali.