Lanjutkan Pensiun Dini PLTU dengan Pembiayaan Inovatif • Petrominer

PLTU Cirebon.
Jakarta, Petrominer – Pemerintah didesak untuk melanjutkan rencana pensiun dini PLTU batubara sebagai bagian dari percepatan transisi energi. Hal ini sejalan dengan agenda Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan.
Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) mengungkapkan Pemerintah bisa tetap melakukan transisi energi dari batubara ke energi terbarukan. Hal ini sekaligus membantah pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang menyatakan pensiun PLTU batubara sulit direalisasikan karena tidak memiliki pendanaan.
Pendanaan, menurut SUSTAIN, bukan merupakan kendala karena terdapat opsi pembiayaan inovatif yang seharusnya dieksplorasi oleh Pemerintah. Meski begitu, penutupan dini PLTU harus dibarengi dengan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi dan pengembangan energi terbarukan.
“Untuk membiayai hal tersebut, Pemerintahan Prabowo bisa menaikkan pungutan produksi batubara. Analisis kami, dari peningkatan pungutan produksi batubara, Pemerintah bisa memperoleh tambahan penerimaan negara sebesar US$ 5,63 miliar atau sekitar Rp 84,55 triliun hingga US$ 23,58 miliar atau sekitar Rp 353,7 triliun per tahun,” ujar Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya, dalam siaran pers yang diterima PETROMINER, Rabu (5/2).
Menurut Tata, pensiun dini pembangkit batubara yang dilakukan bersamaan dengan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi sangat bisa dibiayai oleh peningkatan pungutan produksi batubara. Dengan begitu, tidak perlu menunggu hibah lembaga donor atau negara lain.
“Ini juga merupakan disinsentif untuk produksi batubara yang selama ini memperoleh keuntungan sangat besar. Pemerintahan Prabowo harus segera menerapkan kebijakan ini,” tegasnya.
Penutupan PLTU Cirebon 1 membutuhkan paket pembiayaan sebesar US$ 230 juta atau sekitar Rp 3,45 triliun hingga US$ 300 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun. Selain biaya tersebut, PLN juga membutuhkan US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 19,5 triliun untuk peningkatan sistem guna mengakomodasi integrasi energi terbarukan pada jaringan PLN.
“Pendanaannya sudah tersedia dari investor, dan PLTU lain pun berpotensi memperoleh pendanaan, termasuk dari sumber dalam negeri. Dengan penerimaan pungutan minimal Rp 84,55 triliun, maka target penutupan PLTU sekaligus peningkatan jaringan transmisinya menjadi sangat mungkin untuk dipercepat,” ungkap Tata.
Pungutan produksi batubara juga bisa digunakan untuk membiayai Investment Focus Area (IFA) pengembangan jaringan transmisi dan distribusi listrik pada JETP, yang membutuhkan biaya hingga US$ 19,7 miliar atau sekitar Rp 295,5 triliun hingga tahun 2030. Selanjutnya dana tersebut bisa digunakan untuk pengembangan energi terbarukan, seperti yang sudah dianggarkan dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP tahun 2023.
Anggaran saat ini pun bisa dikelola lebih baik demi meningkatkan anggaran untuk infrastruktur energi terbarukan. Berdasarkan Dasbor Pembiayaan Pembangkit Listrik di Indonesia yang baru saja diluncurkan oleh Climate Policy Initiative (CPI), rata-rata investasi tahunan (2019-2021) untuk energi terbarukan baru mencapai US$ 2,2 miliar.
Angka ini terpaut jauh dari US$ 9,1 miliar per tahun yang dibutuhkan untuk mencapai target ENDC berupa 34 persen bauran energi terbarukan tahun 2030. Nilai investasi untuk energi terbarukan saat ini juga juga masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata investasi untuk bahan bakar fosil sebesar sebesar US$ 3,7 miliar per tahun.
“Data menunjukkan bahwa investasi energi fosil hampir dua kali lipat melebihi pendanaan untuk pembangkit listrik energi terbarukan. Ada peluang strategis mengalihkan arus investasi tersebut untuk mengembangkan energi terbarukan menuju perekonomian Indonesia yang lebih kompetitif dan rendah karbon,” jelas Direktur CPI Indonesia, Tiza Mafira.
Dari sisi kapasitas listrik, penutupan PLTU tidak akan merusak kebutuhan listrik masyarakat, asalkan pengembangan energi terbarukan juga dilakukan dengan upaya maksimal.
Jangan Biomassa
Catatan Trend Asia, pengembangan energi bersih dan terbarukan yang bisa dilakukan dengan segera adalah pembangkit listrik tenaga surya atap baik untuk perumahan atau komersial dan industri, pembangkit listrik tenaga angin, serta pembangkit listrik tenaga air skala kecil termasuk energi terbarukan berbasis komunitas. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan peningkatan investasi publik serta insentif, sehingga membuatnya kompetitif terhadap energi fosil.
Menurut Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, langkah konkret untuk pensiun dini dan phase out PLTU batubara harus segera dimulai dan digantikan energi bersih dan terbarukan. Jangan justru pembangkit batubara tetap digunakan, namun bahan bakarnya diganti menjadi nabati yakni biomassa.
“Pasalnya, penggunaan biomassa yang dipandang ‘hijau’ adalah hal keliru. Analisa Trend Asia, penggunaan biomassa justru menambah emisi dan merugikan negara dari sisi ekonomi serta memicu alih fungsi lahan dan deforestasi. Pemerintah pun tetap menyuntikkan subsidi untuk co-firing pembangkit listrik,” ungkap Ahmad.