Media Digital itu Menyatukan apa Memisahkan Sih?
#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik
Pada zaman ini, tidak banyak diantara kita yang bisa berlama-lama ‘berpisah” dengan perangkat digital. Sebut saja handphone. Bagi semua orang, terlebih bagi generasi milenial, ketinggalan handphone itu rasa-rasanya seperti “mati gaya”, “tidak bisa hidup”, atau bahkan “berakhirnya dunia”. Benar bukan?
Tentu perasaan itu muncul bukan tanpa alasan, karena kenyataannya saat ini handphone yang hanya segenggam itu mampu mentransformasi berbagai hal menjadi digital. Sehingga kita dapat melakukan apapun aktivitas keseharian yang awalnya manual, menjadi dengan cara yang baru, cara artifisial. Tak pelak, kita pun merasa dunia ada di genggaman saja.
Akan tetapi, jika kita perhatikan, kita melihat seperti ada paradoks di tengah masyarakat digital. Kemudahan komunikasi antar masyarakat melalui media digital ini, ternyata dibarengi juga dengan keterpecahan antar masyarakat.
Dahulu, sebelum era digital, komunikasi antar masyarakat banyak terhambat oleh jarak dan waktu. Katakanlah seseorang yang ada di Aceh dengan di Papua, atau di pedalaman dan perkotaan, tentu komunikasinya terbatas karena perbedaan ruang, perbedaan waktu. Terlebih ketika handphone masih jarang dan internet belum ditemukan. Sehingga saat itu rasa-rasanya wajar jika perbedaan ruang dan waktu menghambat komunikasi dan persatuan masyarakat.
Namun demikian, apakah komunikasi dan persatuan masyarakat itu menjadi mudah di era digital? Ternyata semakin kesini semakin terasa “tidak mudah” juga. Hal ini ditandai dengan banyak munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang saling berbeda pandangan. Misalnya saja ada kelompok “islam moderat”, “islam garis lurus”, atau kelompok “islam garis lucu”, “katolik garis lucu”, dan sebagainya.
Model perpecahan pada kelompok-kelompok ini muncul salah satunya karena dikatalisasi oleh adanya algoritma media sosial. Misalnya seperti pada platform Facebook, algoritma ini bekerja secara otomatis dengan artificial intelligence (AI) yang dapat mempelajari preferensi dan minat penggunanya. Misalnya pengguna yang disajikan promosi/ pop-up dari jejaring di dekatnya, halaman yang sering dikunjunginya, atau tema pencarian yang sering dilakukannya.
Adanya algoritma ini menjadikan para pengguna lebih dalam masuk pada lingkungan pergaulan sesuai dengan minatnya, dan bisa jadi terlepas dari lingkungan pergaulan yang lebih luas. Bahkan tidak hanya Facebook, umumnya media menggunakan model algoritma tersebut untuk memanjakan dan membuat nyaman penggunanya.
Dari sini kita jelas melihat bahwa media melalui algoritma-nya mampu untuk memfragmentasi dan mempolarisasi masyarakat digital sebagai para penggunanya. Termasuk informasi yang diterima pengguna mungkin saja menjadi bias/berat sebelah karena merupakan informasi yang relatif seiring dengan pikirannya masing-masing (Rahmawati, 2018).
Meskipun, memang algoritma ini tidak akan menjadi sedemikian besar efek fragmentasinya tanpa adanya pihak-pihak tertentu yang bermaksud memanfaatkan untuk untuk suatu kepentingan, seperti perang tagar yang dimulai oleh pendengung/buzzer.
Perang Tagar (sumber: blog.mediawave.co.id)
Oleh sebab itu, wajar apabila saat ini banyak berkembang kelompok-kelompok dan aliansi-aliansi yang muncul pada berbagai media. Atau mungkin juga telah berkembang kelompok-kelompok lain yang “tidak terlihat” di media umum, karena mereka hanya membatasi komunikasinya di antara mereka saja, tetapi memiliki anggota yang banyak.
Nah, sekarang menjadi terlihat kan, bahwa kemudahan komunikasi yang ditawarkan oleh media digital tidak serta merta mempermudah komunikasi dan persatuan masyarakat?
Kalau boleh diibaratkan, media digital ini seperti suatu alat saja, misalnya pisau, atau pistol. Di tangan orang yang benar, pisau bisa bermanfaat menghasilkan masakan yang lezat. Tetapi di tangan yang salah, pisau bisa menghasilkan penusukan. Begitupun dengan pistol. Di tangan orang yang benar akan bermanfaat menjaga pertahanan dan keamanan negara. Tetapi di tangan yang salah bisa menghasilkan pembunuhan.
Sebenarnya munculnya kelompok-kelompok seperti ini bukan menjadi masalah yang perlu dikhawatirkan selagi tidak mengganggu keamanan, ketertiban umum, dan persatuan-kesatuan negara. Namun berbagai gesekan kecil pada dunia maya, tentu akan menjadi besar dan merembet pada dunia nyata apabila antar kelompok tidak saling menghargai perbedaan, tidak saling empati dan emansipasi.
Oleh karena itu, kita sebagai bagian dari masyarakat digital, perlu untuk lebih bijak dan “dewasa” dalam kehidupan bermedia. Tentu tidak ada salahnya kita menjadi bagian dari suatu kelompok, tetapi kita perlu juga menanamkan pemahaman mengenai keberagaman masyarakat, dimulai dari diri kita. Keberagaman ini bukan hanya keberagaman suku, agama, dan ras saja, tetapi juga keberagaman pandangan politik, sosial, dan keberagaman lainnya.
Dengan pemahaman keberagaman ini, saya yakin bahwa berbagai perbedaan bukan menjadi alasan kita untuk bertengkar dan berpecah, tetapi sebagai khazanah kekayaan untuk mencapai tujuan bersama bangsa kita, Indonesia. Yuk kita menjadi agen persatuan bangsa!