Mempertahankan Batubara Justru Rugikan Ekonomi ASEAN •

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Jakarta, – Negara anggota ASEAN disarankan agar mulai merencanakan untuk berpindah dari energi fosil, khususnya dari batubara. Selain telah menjadi komitmen global untuk membatasi kenaikan suhu bumi di 1,5° Celcius, langkah ini juga akan melindungi negara anggota ASEAN dari risiko guncangan ekonomi akibat impor energi fosil yang terus meningkat.

Namun, laporan terbaru ASEAN Centre for Energy (ACE) on the Role of Coal yang dirilis bulan Mei 2024 lalu malah merekomendasikan untuk tetap mempertahankan batubara sebagai salah satu sumber energi yang penting dengan penggunaan Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

Pasalnya, berdasarkan kajian-kajian terbaru, teknologi CCS/CCUS tidak dipandang sebagai teknologi yang handal dan berbiaya murah untuk menekan emisi karbon dari PLTU. Sedangkan pengalaman sejumlah proyek di berbagai negara justru menunjukan penggunaan CCS/CCUS di PLTU tidak efektif menangkap karbon, berbiaya tinggi dan berisiko tinggi secara finansial.

Mengacu pada pengalaman tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang mempertahankan PLTU batubara akan membuat negara anggota ASEAN dalam siklus jebakan karbon (carbon lock-in) di jangka panjang. Kondisi ini akan menyulitkan transisi energi ke energi bersih dan meningkatkan emisi karbon, meningkatkan risiko aset mangkrak (stranded asset) dari energi fosil, serta berpotensi ekonomi biaya tinggi

“Merekomendasikan teknologi ini, semata-mata untuk mempertahankan operasi PLTU dan melanggengkan ketergantungan sejumlah negara ASEAN untuk mengimpor batubara merupakan saran yang tidak bijak. Implikasinya adalah terhambatnya akselerasi energi terbarukan yang lebih murah, terjangkau dan rendah risiko untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka mencegah kenaikan temperatur di atas 1,5°C,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, Rabu (26/6).

Tidak hanya itu, menurut Fabby, keinginan untuk mempertahankan PLTU batubara justru bertentangan dengan pandangan lebih dari 60 persen warga di negara anggota ASEAN. Dalam hal ini, mereka menolak pembangunan PLTU baru dan menginginkan untuk pengakhiran secara bertahap (phase out) PLTU, sesuai survei ISEAS di tahun 2022.

“Temuan dari First Global Stocktake mendorong komunitas global untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan meningkatkan tiga kali lipat energi terbarukan pada tahun 2030,” tegasnya.

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan bahwa hingga saat ini memperlengkapi PLTU batubara dengan CCS/CCUS belum terbukti signifikan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, secara ekonomi kurang layak dan tidak efisien secara finansial dengan risiko aset mangkrak yang lebih besar.

“Jika ASEAN tetap bergantung batubara, jelas akan menimbulkan keraguan terhadap komitmen kepemimpinan ASEAN dalam mitigasi perubahan iklim,” ungkapnya.

Manajer Riset IESR, Raditya Wiranegara, mengungkapkan bahwa ASEAN perlu serius mengejar target pengembangan energi terbarukan. Dengan bauran energi terbarukan sebesar 57 persen pada tahun 2030 dan 90-100 persen bauran energi terbarukan pada tahun 2050.

“Manfaat ekonomi dari batubara akan tergerus seiring dengan berjalannya transisi energi yang mengedepankan energi terbarukan di berbagai negara. Komitmen pengakhiran operasional PLTU batubara secara dini dan terencana yang diambil negara anggota ASEAN justru akan menarik investasi terhadap pengembangan energi terbarukan,” jelas Raditya.

Selain itu, dia menilai usulan laporan ACE yang menempatkan batubara sebagai bahan bakar transisi dalam sistem energi ASEAN dapat mengaburkan komitmen negara anggota ASEAN di dalam komitmen bersama terhadap Persetujuan Paris dan mengirimkan sinyal campuran ke iklim investasi energi terbarukan di kawasan ini sehingga dapat mengurangi minat investasi dalam pengembangan energi terbarukan.