Menghitung Biaya Pensiun Dini PLTU Batubara •

IESR menjadi salah satu penyelenggara Indonesia Sustainabe Energy Week (ISEW) 2023 yang diselenggarakan pada 10-13 Oktober.

Jakarta, – Pensiun dini operasional PLTU batubara dari tahun pensiun alaminya dipandang memiliki biaya yang lebih rendah dibandingkan memperpanjang usia PLTU batubara dengan penambahan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS).

Hal tersebut disampaikan Fadhil Ahmad Qamar, Staff Program untuk proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara (SEA), Institute for Essential Services Reform (IESR), pada hari kedua Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023, Rabu (11/10).

Menurut Fadhil, biaya penambahan teknologi CCS cenderung tinggi karena besarnya biaya pengadaan atau modal awal (capital expenditure/Capex) dan pengeluaran operasional (operating expenditure/Opex) CCS. Tidak hanya itu, pensiun dini operasional PLTU batubara berpotensi menghasilkan pengurangan emisi PLTU yang mirip dengan pengurangan emisi dari penerapan CCS, dengan biaya yang lebih rendah.

“Untuk dapat menerjemahkan manfaat pengurangan emisi dari pensiun dini operasional PLTU batubara dan penerapan teknologi CCS pada PLTU batubara dalam nilai ekonomi, maka perlu disertai dengan penerapan harga karbon yang tepat sebagai bagian dari pembiayaan inovatif sehingga tidak membebankan anggaran negara,” ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Analis Senior IESR, Raditya Wiranegara, menekankan kembali pentingnya aspek sosial dan ekonomi dari pensiun dini operasional PLTU batubara, terutama jika kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat lokal memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap beroperasinya PLTU batubara.

Selain itu, menurut Raditya, pemangku kebijakan juga perlu menggunakan pendekatan rumusan kebijakan terkait rencana penghentian pengoperasian PLTU batubara yang berbasis data. Baik itu data aset pembangkitnya sendiri maupun biaya-biaya eksternalitas yang terkait dengan operasinya, seperti biaya sosial akibat polusi lokal yang dihasilkan oleh PLTU batubara.

“Penting untuk ke depannya, rencana penghentian operasi PLTU batubara masuk ke dalam RPJPN, sehingga dapat dipersiapkan jaringan pengaman sosial seperti apa dan berapa banyak yang diperlukan untuk meminimalisir dampak pengakhiran operasi PLTU batubara, baik pada masyarakat di sekitar pembangkit maupun di daerah penghasil batubara. Langkah-langkah antisipasi lainnya, seperti penyiapan peralihan tenaga kerja dari PLTU batubara ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan juga bisa dipertimbangkan untuk masuk ke dalam RPJPN,” jelasnya.