Nasib Transisi Energi Selama 100 Hari Prabowo-Gibran • Petrominer

Presiden Prabowo Subianto.

Jakarta, Petrominer – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan genap 100 hari pada 28 Januari 2025.

Sebulan setelah dilantik, Presiden Prabowo menegaskan kontribusi dan kepemimpinan Indonesia mengatasi perubahan iklim global dan transisi energi terbarukan melalui pidatonya di APEC CEO Summit dan KTT G20 di Brasil. Presiden menyampaikan target net zero sebelum tahun 2050 dengan strategi menghentikan PLTU batubara dalam 15 tahun, mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun, dan mencapai swasembada listrik.

Namun, hingga kini belum ada arahan khusus dari presiden untuk memastikan tercapainya janji tersebut. Sejauh ini, fokus pemerintah masih pada target jangka panjang dengan mengungkapkan rencana RUPTL 2025-2034 yang konon pembangkitan akan didominasi oleh energi terbarukan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang semangat pemerintah, melalui berbagai pernyataannya untuk mencapai kemandirian energi dan mencapai nol emisi lebih cepat dari tahun 2060,  belum sepenuhnya terefleksi dalam rencana dan tindakan yang nyata. Untuk itu, IESR menilai pemerintah perlu menyiapkan langkah taktis, seperti mempercepat pembangunan 9 GW energi kapasitas terbarukan di tahun ini.

Tidak hanya itu, untuk melancarkan implementasi dan pengoperasian jangka panjangnya, maka komitmen yang disampaikan secara verbal dalam forum internasional tersebut perlu segera dituangkan dalam aturan yang jelas serta diintegrasikan dalam berbagai kebijakan energi. Namun, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang terbit pada November 2024 lalu justru masih mempertahankan pencapaian target net zero tahun 2060, bukan 2050, dan puncak emisi di tahun 2035, bukan di 2030. Selain itu, RUKN juga masih memuat rencana pembangunan PLTU hingga tahun 2035.

Lebih jauh, IESR menilai pemerintah perlu segera menerjemahkan komitmennya bertransisi energi. Salah satunya dengan mengeluarkan rencana untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan serta meninggalkan teknologi energi fosil. Rencana ini termasuk langkah-langkah taktis mencapai bauran energi terbarukan 23 persen di akhir tahun 2025 agar tidak kehilangan momentum.

Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, transisi energi merupakan proses yang panjang tetapi keputusannya harus dibuat sekarang sehingga memberi waktu untuk penyusunan perencanaan energi yang terintegrasi dan implementasi yang terukur. Keberanian Presiden dan Wakil Presiden untuk melawan status quo, kepentingan yang mempertahankan energi fosil, serta berbagai alasan untuk mengerdilkan upaya transisi energi, menjadi syarat agar meraih ketahanan dan swasembada energi yang selaras dengan Asta Cita.

Sesuai ambisi presiden untuk menghentikan operasi PLTU di tahun 2040, kajian IESR menemukan pengakhiran operasional PLTU batubara secara dini dapat diterapkan pada 105 unit PLTU (25 GW). Aksi  ini berkontribusi terhadap hampir setengah pengurangan emisi kumulatif pembangkit listrik on-grid.

“Komitmen presiden untuk pensiun dini PLTU batubara pada 2040-2045 harusnya disertai dengan penghentian pembangunan PLTU captive. Tidak hanya itu, upaya mempertahankan penggunaan batubara yang kotor dengan menggunakan teknologi CCS/CCUS yang belum teruji dapat menurunkan emisi secara signifikan,” kata Fabby.

Dia menambahkan, pemerintah perlu secara serius mencermati tren pasar global yang menuntut produk barang maupun jasa yang rendah emisi sehingga menuntut listrik yang bersih dan rendah karbon. Kemampuan negara menyediakan listrik rendah karbon akan menentukan daya tarik investasi sebuah negara.

Lebih jauh, Fabby menekankan pentingnya lapangan tanding yang setara untuk pemanfaatan energi terbarukan, dengan mengurangi subsidi energi fosil secara bertahap. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada tahun 2024, pemerintah menghabiskan anggaran Rp 386,9 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi fosil, termasuk BBM, LPG, dan listrik, yang 87 persen  listrik berasal dari energi fosil.

Sementara, penggunaan energi fosil, termasuk BBM berkualitas rendah telah meningkatkan beban biaya kesehatan hingga Rp 1,2 triliun pada tahun 2023 untuk wilayah Jakarta saja akibat tingginya polusi. Selama 100 hari ini, Pemerintahan Prabowo-Gibran masih belum memiliki strategi penurunan subsidi energi kotor dan mengatasi dampak harga energi jika subsidi dikurangi secara bertahap dan dibuat tepat sasaran.

Selama 100 hari, reformasi kebijakan pemberian harga DMO batubara kepada PLN juga belum ada di radar para pembuat kebijakan. IESR mendorong pemerintah untuk mengkaji dampak kebijakan ini terhadap akselerasi pengembangan energi terbarukan.

IESR merekomendasikan ketimbang mempertahankan subsidi batubara dalam bentuk Domestic Market Obligation (DMO) US$ 70 per ton kepada PLN, yang menghambat keekonomian energi terbarukan. Sebaliknya, pemerintah akan membuat skema pendanaan baru untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia.

Ini bisa dilakukan dengan cara memungut 2,5-5 persen dari nilai batubara yang diekspor. IESR memperkirakan pemerintah dapat menghimpun lebih dari US$ 1,25-2,5 miliar per tahun dari pungutan ini. Dana ini dapat membantu pembiayaan investasi pembangkit energi terbarukan dan transmisi yang dilakukan oleh PLN dan pemilik wilus lainnya.

IESR menilai pengembangan biodiesel di masa Presiden Prabowo Subianto sebagai upaya mewujudkan kemandirian energi, perlu dilakukan secara hati-hati, bijaksana dan memperhatikan trade-off. Tingginya permintaan minyak sawit (CPO) sebagai bahan baku BBN berpotensi memicu pembukaan lahan kelapa sawit baru, yang dapat meningkatkan deforestasi, merusak ekosistem, dan menyumbang emisi gas rumah kaca yang signifikan.

Untuk mengurangi risiko tersebut, IESR mendorong diversifikasi bahan baku biodiesel ke sumber-sumber lain guna mengurangi ketergantungan tinggi pada minyak sawit. Selain itu, produksi biodiesel juga harus memenuhi kriteria keberlanjutan yang ketat, termasuk memiliki jejak karbon rendah, tidak merusak ekosistem, melibatkan masyarakat lokal secara adil dengan menghormati hak mereka, serta diproduksi secara ekonomis tanpa membebani anggaran negara atau menciptakan distorsi pasar.

IESR pun mendesak agar dalam periode 100 hari ini, presiden secara tegas menyatakan perlunya memenuhi kaidah keberlanjutan di seluruh mata rantai produksi biodiesel, untuk mengurangi risiko lingkungan dan sosial serta penurunan emisi dari program ini.