Negoisasi Alot, Proyek Energi Terbarukan jadi Terhambat •
Panel surya PLTS di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur.
Jakarta, – Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai proses pengadaan proyek energi terbarukan di Indonesia terhitung berjalan lambat dan alot. Meski dilelang sejak dua tahun lalu, namun sebagian besar proyek energi terbarukan belum juga mencapai tahap kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/PPA).
Analis Keuangan Energi IEEFA, Mutya Yustika, menuturkan bahwa proses pengadaan energi terbarukan yang diselenggarakan PLN berjalan alot dan lambat dari yang diperkirakan. Padahal, percepatan pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan jadi kunci agar Indonesia dapat hentikan operasi seluruh pembangkit listrik batubara (PLTU).
Dari target penambahan energi terbarukan 21 gigawatt (GW) dalam RUPTL 2021-2030, PLN seharusnya menambah kapasitas energi terbarukan rata-rata 2,1 GW per tahun. Namun, realisasinya pembangkit listrik energi terbarukan hanya naik 0,6 GW per tahun.
“Meski PLN menargetkan ekspansi kapasitas energi terbarukan yang signifikan, namun proses pengadaannya justru berjalan lambat. Kebanyakan proyek energi terbarukan saat ini masih dalam tahap lelang dan negosiasi,” kata Mutya, Senin (16/12).
Dia memberi contoh program penggantian 5.200 PLTD dengan energi terbarukan yang diumumkan tahun 2022. Meski lelang tahap I telah dilakukan dan Letter of Intent (LoI) sudah ditekan pada Desember 2023, namun belum ada kontrak yang ditandatangani.
Tidak hanya itu, Proyek Hijaunesia tahun 2023 yang membidik pembangunan PLTS skala besar 1 GW juga masih pada tahap perencanaan dan pemilihan mitra. Padahal, sudah berjalan hampir dua tahun.
List of renewable energy bids, 2022-2024. (IEEFA, 2024)
Karena itulah, IEEFA menilai restrukturisasi komprehensif proses pengadaan perlu dilakukan untuk mencapai tambahan kapasitas energi terbarukan yang cukup besar setiap tahun guna merealisasikan visi Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah perlu menetapkan prioritas pengadaan proyek yang ada dalam rencana, didukung dengan prinsip pengadaan dan kontrak yang rasional, serta diperkuat pembiayaan untuk pembangunan energi terbarukan 3-5 GW per tahun.
Untuk mewujudkannya, perlu ada pendekatan komprehensif lintas kementerian/lembaga di pemerintahan.
Menurut Strategic Energy Finance Advisor Asia IEEFA, Grant Hauber, institusi seperti PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), dan Indonesia Investment Authority (INA) dapat bekerja sama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan PLN untuk membuat sumber daya dan proses yang dibutuhkan.
“Untuk mendukung keberhasilan pengadaan energi bersih, harus dilakukan identifikasi dan prioritas portofolio proyek, terutama proyek yang memiliki lahan dan sumber daya yang memadai untuk dapat segera diimplementasikan,” ujar Grant.
Menurutnya, aspek-aspek persiapan proyek harus dilakukan untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi, didukung proses pengadaan yang transparan dengan konsep kontrak yang saling menguntungkan. Pendekatan ini perlu direplikasi secara konsisten dan terus menerus, diterapkan di berbagai proyek, secara konsisten pada masa sekarang maupun masa mendatang.
PLTU milik PLN
Pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan skala besar secara cepat ini dibutuhkan agar Indonesia dapat menyetop operasi seluruh PLTU seperti yang dinyatakan Presiden Prabowo dalam KTT G20 di Brasil. Isu penting lainnya adalah menemukan pendekatan terbaik untuk memensiunkan seluruh PLTU pada tahun 2040.
Langkah awalnya yakni mengidentifikasi PLTU mana yang perlu diprioritaskan untuk dimatikan. Apakah yang dimiliki secara pribadi oleh produsen listrik swasta (IPP) atau dimiliki secara publik oleh PLN, serta performa dari PLTU tersebut?
Mutya menegaskan bahwa penghentian operasi PLTU milik IPP membutuhkan negosiasi yang ekstensif. Oleh sebab itu, pemerintah lebih baik memprioritaskan pensiun dini PLTU milik PLN lantaran hanya akan membutuhkan penilaian internal oleh PLN dan pemerintah untuk menerbitkan kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan terkait penghapusan aset yang ditutup. Apalagi, dari total kapasitas PLTU 50 GW, sebanyak 22 GW dimiliki oleh PLN, dan 23 persen di antaranya telah beroperasi lebih dari 25 tahun.
“Karena terjadi kelebihan pasokan, PLTU yang dimiliki PLN juga tidak dioperasikan penuh. Dalam kondisi normal, capacity factor PLTU seharusnya sekitar 80 persen. Namun, pada tahhun 2023, PLTU PLN di Sistem Kelistrikan Jawa-Bali hanya beroperasi dengan capacity factor 59 persen dan di Sumatera hanya 53 persen,” jelasnya.
Empat PLTU dengan total 4,6 GW masuk dalam kriteria tersebut, yakni PLTU Suralaya Unit 1-7 berkapasitas 3,4 GW; Bukit Asam Unit 1-4 260 MW; Paiton Unit 1-2 800 MW; dan Ombilin Unit 1-2 200 MW. Dari keempat PLTU tersebut, PLTU Suralaya Unit-1 telah beroperasi sejak tahun 1985, dan yang paling muda adalah PLTU Suralaya Unit-7 yang beroperasi sejak tahun 1997.