Pakar Pertambangan; Ini Sejumlah Tantangan Geopolitik Bagi Industri Tambang
Jakarta,Berita, Banyak faktor yang akan mempengaruhi kinerja Industri pertambangan Indonesia ke depan. Ada faktor internal yang berasal dari dalam negeri seperti regulasi, cuaca dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Juga faktor eksternal yang berasal dari situasi geopolitik global mulai dari adanya konflik baik di Eropa, Timur Tengah dan Laut Natuna Utara.
Hal ini disampaikan Edi Permadi, Tenaga Profesional Sumber Kekayaan Alam Lemhanas RI saat menjadi salah satu pembicara dalam Temu Tahunan (TPT) Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) ke-XXXIII di Jakarta (19/11) silam. Salah satu yang saat ini cukup menyita perhatian publik saat ini terkait terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Sosok yang selama ini dikenal dengan beberapa keputusan yang oleh sebagian kalangan disebut kontroversial.
Kali ini pun, publik menanti beberapa kebijakan yang diyakini akan berpengaruh pada situasi global termasuk di sektor energi. Trump dalam beberapa kesempatan sudah terang benderang mengatakan lebih memilih energi fosil. Ini tentu menimbulkan pertanyaan dipublik yang saat ini terus mendorong pengurangan emisi dengan mendorong pengurangan pemanfaatan energi fosil. “Pernyataan ini tentu akan menjadi alarm bagi pengembangan energi bersih di negeri Paman Sam. Ia juga berjanji akan mencabut peraturan iklim yang diterapkan di bawah Presiden Joe Biden,”terang Edi Permadi.
Tidak hanya itu, Presiden Trump bernjanji membatalkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) yang memberikan subsidi dan insentif besar-besaran untuk teknologi energi bersih. Salah satu insentif yang akan dicabut adalah insentif untuk kendaraan listrik. “Jika ini dilaksanakan maka akan berdampak pada prospek industri kendaraan listrik. Dampak lanjutannya adalah prospek nikel sebagai bahan baku untuk baterai kendaraan listrik akan terpengaruh,”terang Edi.
Menurutnya ketika berbincara tentang kendaraan listrik maka ada keterkaitan dengan komoditi nikel dimana Indonesia saat ini menjadi pemain penting di pasar nikel global. Kebijakan penghapusan UU IRA diyakini akan berdampak pada harga nikel. “Rencana Trump tersebut bisa menjadi sentiment negatif bagi pasar nikel global yang bisa membuat harga nikel melemah,”tandas Edi.
Edi memperkirakan harga nikel di tahun 2025 masih akan bergerak pada level USD16.000-17.000 per ton. “Dengan perkiraan supply dan demand pada tahun 2025 dan melihat dampak kebijakan yang diambil Trump harga nikel diperkirakan masih akan bergerak di kisaran USD16.000 sampai USD17.000 per ton,”ungkap Edi.
Ia kemudian mengingatkan perusahaan tambang nikel untuk mengedepankan efisiensi. Sementara bagi Pemerintah yang harus dilakukan adalah menjaga konservasi mineral dan profitabilitas pelaku usaha. “Dalam kondisi demikian pelaku usaha harus mengedepankan efisiensi sehingga masih bisa meraih untung,”kata Edi.
Bahkan menurut Edi dampak kebijakan Trump yang lebih mengutamakan energi berbasis fosil juga berdampak pada pasar komoditi tambang lain. “Tidak hanya nikel, komoditi lain seperti tembaga, aluminium dan timah merupakan komoditi yang selama ini dibutuhkan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan. Jika kebijakan Trump berdampak pada melambatnya pengembangan EBT tentu akan berpengaruh pada permintaan beberapa komoditi tersebut,”ungkapnya.
Edi yang lama berkecimpung di dunia pertambangan juga mengingatkan Pemerintah untuk kembali menata pertambangan nikel. “Kami sudah pernah menyampaikan kepada Presiden untuk kembali melakukan rasionalisasi terhadap RKEF yang akan dibangun. Setelah bertemu Menteri ESDM kala itu, Kajian kami mengatakan bahwa untuk komoditi nikel yang benar-benar mineable reserve usianya dibawah 10 tahun. Angka tersebut dengan eksplorasi sesuai kaidah standard dan tidak overlapping dengan Kawasan hutan, adat dan sosial kemasyarakatan. ”terang Edi.
Menurutnya eksploitasi besar-besaran pada nikel saprolite yang menggunakan teknologi RKEF (Rotary Kiln Electric Furnace) telah membuat cadangan nikel kadar tinggi menipis. Oleh karenanya perlu ada langkah cepat Pemerintah melakukan rasionalisasi terhadap RKEF.
Sementara di sisi lain pengembangan hilirisasi nikel dengan memanfaatkan nikel limonit selama ini belum berjalan baik. Untuk pemanfaatan yang baik ini maka harus digunakan teknologi HPAL yang akan memproduksi bahan baku kendaraan listrik. “Ini yang harus didorong ke depan agar potensi limonite kita bisa dimanfaatkan dengan baik. Di sisi lain juga akan mendukung upaya Pemerintah membangut ekosistem kendaraan listrik nasional.
Selain itu tantangan terbesar HPAL atau Hydrometallurgy yang lain adalah mengenai sisa proses atau tailing. Teknologi dry tail yang sekarang ini perlu ditingkatkan untuk mengkonservasi mineral sisa didalamnya secara ekonomis. “Untuk itu Link and match dengan Universitas adalah kalimat lama yang masih harus ditingkatkan untuk kepentingan National Human Resources Competitiveness” tandas Edi.
Dalam paparannya, Ia menyebutkan secara global ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi mulai dari sisi ekonomi, lingkungan, geopolitik, sosial dan teknologi. Riset World Economic Forum tentang Global Risk Report menempatkan risiko terkait iklim menjadi yang dominan untuk jangka panjang. Sementara ancaman terkait misinformasi dan disinformasi disebut sebagai ancaman paling besar untuk jangka pendek dalam rentang dua tahun.
“Masyarakat global sangat menyadari perkembangan informasi dan teknologi akan menjadi ancaman munculnya misinformasi dan disinformasi. Apalagi dengan perkembangan AI selain akan banyak membantu manusia tetapi juga menjadi ancaman dari sisi validitas informasi,”terang Edi.
Sementara dalam konteks lokal dalam hal ini Indonesia, Edi menyebut ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi. Mulai dari perubahan iklim, perlambatan ekonomi global, konflik geopolitik bersenjata seperti Rusia-Ukraina atau potensi konflik di Timur Tengah. Kemudian ada disrupsi AI, ancaman pandemi baru dan meningkatnya populasi global dan Indonesia.
Industri pertambangan Indonesia juga akan menghadapi tantangan tersebut secara khusus terkait dengan lingkungan. Oleh karenanya dalam pelaksanaanya, kegiatan usaha pertambangan terus didorong untuk memperhatikan aspek ESG dan Good Mining Practice.
“Ditengah perhatian public yang semakin tinggi pada aspek lingkungan maka perusahaan tambang pun dituntut untuk memperhatikan aspek-aspek yang terkait ESG dan juga pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik dan benar,”tandas Edi.
Setidaknya ada 10 trend ESG di pertambangan mulai dari akselerasi Net-Zero, Keanekaragaman hayati, pengelolaan tailing yang baik, Ekuitas, Keanekaragaman dan Inklusi praksis yang semakin berkembang. Kemudian standarisasi pelaporan ESG, Adaptasi terhadap peraturan global, kompetensi eksekutif dan komisaris yang meningkat, inovasi teknologi serta rantai pasok yang berkelanjutan dan bertanggungjawab.
Ini tentu menjadi tantangan bagi perusahaan tambang Indonesia untuk bisa memenuhi beberapa standar penting dalam penerapan ESG.