Pemerintah Bisa Segera Pensiunkan PLTU, Ini Dasarnya • Petrominer

Indonesia akan menghadapi banyak tantangan dalam peralihan dari batubara, namun sumber daya yang melimpah dan potensi energi rendah karbon seperti tenaga surya, air, angin, dan panas bumi menjadi latar belakang yang dapat menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci dalam transisi energi hijau.
Jakarta, Petrominer – Indonesia dinilai telah memiliki modal yang kuat untuk melanjutkan transisi energi. Utamanya pensiun dini PLTU, baik dari sisi hukum maupun ekonomi. Sejumlah regulasi telah menjamin pelaksanaan pensiun dini sekaligus memitigasi risiko keuangan yang mungkin muncul. Malahan, hanya tinggal menunggu kemauan politik dari Pemerintah untuk melaksanakannya.
Peneliti Hukum Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh, mencatat setidaknya ada empat kebijakan yang dapat dijadikan modal kuat untuk transisi energi dan penutupan PLTU.
Pertama, Peraturan Presiden No 112/2022 yang secara jelas telah mengatur jenis dan kriteria PLTU yang musti dimatikan. Bahkan juga mendorong Pemerintah mewujudkan berbagai skema pembiayaan yang dibutuhkan untuk proses penutupan.
Kedua, regulasi terbaru Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 5/20225 yang mengatur adanya platform transisi energi sebagai alat fiskal yang mendukung percepatan penutupan PLTU dan pengakhiran Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Artinya, ada penjaminan dari Kementerian Keuangan ketika ada risiko kegagalan bisnis PLN dan alokasi anggaran dari penutupan PLTU.
Dua kebijakan lainnya yakni Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Meski tak secara eksplisit menyebut PLTU mana yang harus ditutup, RUKN mempertegas amanat Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk mengakhiri operasi PLTU dan mendorong pengembangan energi terbarukan. Secara tegas, RUPTL juga mendorong diversifikasi jenis pembangkit listrik.
“Keempat regulasi ini cukup untuk memberi dasar bagi Pemerintah melakukan transisi energi,” ungkap Saleh, Jum’at (7/2).
Namun hanya ada satu amanat Perpres 112/2022 yang belum dijalankan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yaitu peta jalan pensiun dini PLTU yang mendetailkan kriteria serta skema pembiayaannya. Padahal ini sangat krusial.
“Makanya kita seharusnya mendorong Kementerian ESDM untuk segera mengeluarkan peta jalan. Saat ini, hanya itu (peta jalan) hambatannya,” tegasnya.
Terkait pembiayaan transisi energi, Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya, menyatakan ada sejumlah opsi yang dapat dilakukan Pemerintah. Secara bertahap, Pemerintah dapat meningkatkan pungutan produksi batubara secara progresif.
“Dengan langkah ini, Indonesia dapat mengumpulkan pundi-pundi yang dibutuhkan untuk transisi energi, tak hanya penutupan PLTU,” ujar Tata.
Dari berbagai skenario, Indonesia dapat memperoleh pembiayaan hingga 170 persen dari kebutuhan transisi energi dalam dokumen JETP US$ 96,1 miliar dengan pungutan progresif. Bahkan, dalam skenario paling kecil, Indonesia bisa mendapatkan dana 35 persen dari kebutuhan JETP, yang cukup untuk membiayai pembangunan jaringan listrik dan pensiun dini PLTU. “Ini menunjukkan, kalau pemerintah punya kemauan politik untuk meningkatkan pungutan batu bara, Indonesia sebenarnya bisa membiayai transisi energi,” jelas Tata.
Selain itu, menurutnya, Pemerintah dapat menerapkan pajak karbon untuk PLTU, dengan batasan emisi dan harga yang tepat. Langkah ini menjadi disinsentif bagi bisnis PLTU lantaran akan memangkas laba sehingga mendorong pemilik PLTU untuk beralih ke bisnis energi terbarukan.
Tak hanya itu, seiring semakin tidak menguntungkannya bisnis ini, Indonesia juga dapat menurunkan biaya yang dibutuhkan untuk menutup PLTU. Pajak karbon juga dapat menjadi sumber pendanaan penutupan PLTU.
“Gap yang ada dalam pensiun dini itu PLTU masih mendapat karpet merah dengan berbagai fasilitas yang membuat untungnya masih besar, sehingga tidak ada urgensi pensiun ini. Penerapan pajak karbon ini memang berproses, tetapi harus dilakukan dari sekarang,” ujar Tata.
Banyaknya fasilitas yang diberikan kepada sektor energi fosil, termasuk batubara, disebut Peneliti Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Martha Maulidia, juga menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Dengan telah sekian banyak investasi dan fasilitas yang diberikan, Pemerintah menjadi enggan untuk mengakhiri PLTU mengingat banyaknya dana yang telah mengalir ke sana.
“Akhirnya kita terkunci pada situasi di carbon lock-in. Karena sudah sayang mengucurkan uang ke sana, bukannya di-stop, kita malah terus bakar duit ke sana. Subsidi ke energi fosil perlu dicabut dulu, baru kita terapkan pajak karbon, agar uang negara tidak sekadar berpindah dari kantong kanan ke kantong kiri,” ungkap Martha.
Menurutnya, Pemerintah perlu melakukan transformasi untuk merealisasikan transisi energi, utamanya agar pertumbuhan energi terbarukan dapat naik signifikan. Subsidi dan kompensasi listrik pada tahun 2022 mencapai lebih dari Rp 500 triliun. Jika Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil, besaran subsidi dan kompensasi energi akan dapat dipangkas dan direlokasikan ke sektor lain yang lebih penting.
“Kalau Indonesia menjalankan business as usual, masih banyak kepentingan di RUKN dan RUPTL, artinya bauran energi terbarukan tidak akan naik signifikan. Selain itu, juga perlu ada perubahan kebijakan di industri, fiskal, keuangan, misalnya untuk menyiasati mahalnya cost of fund proyek energi terbarukan. Tidak mungkin kita berharap ada hasil berbeda dari usaha yang sama saja,” ujar Martha.