Pengembangan Lapangan Migas Harus Dipercepat •
Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf.
Jakarta, – Indonesia perlu mempercepat pengembangan lapangan minyak dan gas bumi (migas). Percepatan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat seiring target Indonesia menjadi salah satu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia.
Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf, menyatakan bahwa SKK Migas telah bekerjasama dengan stakeholder terkait melakukan langkah-langkah yang dapat mempercepat realisasi kegiatan di lapangan. Pasalnya, jika pengembangan lapangan migas terus tertunda, maka diperkirakan di tahun 2042, Indonesia akan menjadi negara pengimpor net migas.
“Selain mengusahakan percepatan proses, juga diusahakan adanya peraturan yang dapat meningkatnya daya saing industri hulu migas dan dukungan insentif agar kegiatan investasi hulu migas di Indonesia semakin menarik,” ungkap Nanang, Rabu (23/8).
Menurutnya, percepatan pengembangan lapangan migas tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak. Guna membangun sinergi dengan para pemangku kepentingan terkait hal tersebut, SKK Migas akan menggelar The 4th International Convention on Indonesia Upstream Oil and Gas 2023 (ICIOG 2023) yang akan dilaksanakan di Nusa Dua, Bali, pada 20-23 September 2023 mendatang.
Tahun ini, ICIOG mengusung tema “Advancing Energy Security Through Sustainable Oil and Gas Exploration and Development”. Forum ini diharapkan bisa menjadi wadah bagi para pelaku usaha dan pemangku kepentingan di industri hulu migas untuk mengidentifikasi isu-isu yang masih menjadi tantangan dalam mempercepat pengembangan lapangan migas, sekaligus mencari solusi dan menentukan tindak lanjut atas isu-isu yang ada.
Dominasi Gas
Berdasarkan data SKK Migas, gas alam mendominasi hasil kegiatan eksplorasi di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Lebih dari 50 persen sumur eksplorasi yang dibor menemukan cadangan gas baru, bahkan di tahun 2022 success ratio mencapai 81 persen dan hingga semester 1 2023 success ratio mencapai 100 persen. Sementara 70 persen dari total Plan of Development (PoD) yang diajukan juga merupakan pengembangan lapangan gas.
“Mengacu pada BP Outlook 2021, Reserves to Production gas Indonesia dua kali lebih besar dibandingkan minyak bumi. Potensi gas harus segera diproduksikan sehingga kekhawatiran potensi menjadi net importir gas di tahun 2042 tidak terjadi, dan produksi gas terus meningkat memenuhi kebutuhan domestik hingga mampu mendukung pencapaian target net emission zero di tahun 2060,” kata Nanang.
Hal senada juga disampaikan Country Head Indonesia Rystad Energy, Sofwan Hadi. Saat ini, menurut Sofwan, produksi gas alam nasional masih mampu memenuhi kebutuhan domestik, bahkan bisa diekspor ke negara lain.
Namun berdasarkan hasil riset dan analisis Rystad Energy, produksi gas alam dari lapangan-lapangan yang ada sekarang diperkirakan hanya berkontribusi sebesar 35 persen dari total produksi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam 20 tahun ke depan. Sementara 65 persen sisanya berasal dari produksi lapangan-lapangan gas baru.
“Data ini menunjukkan peran penting kegiatan eksplorasi secara masif dan pengembangan lapangan migas baru untuk menunda beban impor,” paparnya.
Sejauh ini, memang ada beberapa lapangan gas baru sedang dalam proses pengembangan. Antara lain lapangan Andaman di lepas pantai Aceh, lapangan Mako di kawasan Natuna, IDD Fase 2 (Gendalo dan Gendang) di Kalimantan Timur, Asap Kido Merah di Papua dan lapangan Abadi, Masela di Maluku. Produksi gas dari lapangan-lapangan yang baru dikembangkan tersebut diproyeksikan akan memberikan kontribusi sekitar 60 persen bagi produksi gas nasional di tahun 2030, dan naik menjadi 80 persen di 2035.
Namun tanpa dibarengi penemuan cadangan baru dan pengembangan lapangan, lonjakan produksi gas nasional dikhawatirkan hanya terjadi sesaat, sebelum kemudian mengalami penurunan menjelang tahun 2040. Padahal, volume konsumsi gas diperkirakan naik 298 persen pada tahun 2050 seiring target Indonesia untuk menjadi salah satu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia.
“Terlebih dalam era transisi energi menuju net zero emission di tahun 2060, peranan gas akan semakin kuat, oleh karena itu pengembangan lapangan gas harus segera di lakukan,” ungkap Sofwan.
Dia menegaskan perusahaan eksplorasi dan produksi migas memegang peranan penting dalam proses pengembangan lapangan melalui percepatan FID (Final Investment Decision) mengingat mayoritas proyek yang ada masih berada pada fase penemuan cadangan (pre-FID).