Peran Chandra Asri bagi Industri Kendaraan Listrik Nasional • Petrominer

(Kiri ke kanan) Moderator, Direktur Legal, Hub Eksternal dan Ekonomi Sirkular Chandra Asri Pacific, Edi Rivai, Dirjen IKFT Kemenperin, Taufiek Bawazier, dan peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus.
Jakarta, Petrominer – Pembangunan pabrik Chlor Alkali dan Ethylene Dichloride (CA-EDC) berskala dunia oleh Chandra Asri Group, melalui PT Chandra Asri Alkali (CAA), kini tengah berlangsung. Kehadiran pabrik ini tidak saja menjadikannya sebagai produk substitusi impor soda kostik, namun juga mendukung ambisi Indonesia sebagai salah satu penghasil nikel terbesar di dunia dan sekaligus memposisikan diri dalam rantai nilai kendaraan listrik global.
Demikian dikemukakan Direktur Legal, Hubungan Eksternal, dan Ekonomi Sirkular PT Chandra Asri Pacific Tbk., Edi Rivai, dalam diskusi bertema “Peluang dan Tantangan Industri Kimia sebagai Proyek Strategis Nasional” yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin), Jum’at (14/3).
Tahun 2024, menurut Edi, CAA telah merealisasikan investasi senilai Rp 1,26 triliun untuk pembangunan pabrik CA-EDC. Total rencana investasi akan mencapai Rp 15 triliun, yang kini diperkirakan sudah berlangsung separuhnya. Proyek ini masuk sebagai Proyek Strategis Nasional RPJMN 2025 – 2029 sesuai dalam Perpres No.12/2025.
“Dalam proyeksi 20 tahun ke depan, terhitung sejak kuartal pertama tahun 2027 saat CAA mulai beroperasi penuh, produk soda kostik yang diimpor akan disubstitusi produk domestik 827 ribu ton liquid per tahun atau setara Rp 4,9 triliun per tahun,” paparnya.
Saat ini, pasar EDC sudah memenuhi kebutuhan nasional, sehingga target pasar EDC dari CA-EDC adalah 100 persen ekspor. Dengan begitu, terdapat potensi penambahan devisa negara melalui ekspor EDC senilai Rp 5 triliun per tahun.
Guna memperlancar realisasi investasi tersebut, CAA berharap kemudahan izin impor garam industri untuk bahan baku pabrik CA, infrastruktur jalan tol untuk logistik dan distribusi, kepastian keamanan, perlindungan pasar dalam negeri melalui tata niaga impor soda kaustik terhadap banjirnya impor, serta adanya fasilitas pembebasan bea masuk atas mesin dan peralatan impor.
“Di tengah tantangan yang dihadapi, perusahaan juga mengapresiasi insentif-insentif dari pemerintah untuk proyek CA-EDC ini seperti fasilitas tax holiday dan tax allowance. Insentif-insentif tersebut sangat krusial dalam meningkatkan kepercayaan kami untuk terus melakukan realisasi investasi di dalam negeri,” jelas Edi.
Sejak 30 tahun beropasi, Chandra Asri optimis bisa terus mendukung pengembangan industri petrokimia di Indonesia. Malahan, perusahaan ini telah menjadi perusahaan solusi energi, kimia, dan infrastruktur terkemuka di Asia Tenggara.
Saat ini, Chandra Asri memiliki kompleks petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia dan mengoperasikan satu-satunya pabrik Naphtha Cracker, Styrene Monomer, Butadiene, MTBE dan Butene-1 di Indonesia. Fasilitas ini didukung oleh aset infrastruktur inti yang meliputi fasilitas energi, air dan dermaga dan tangki, dengan pengembangan pabrik CA-EDC.
Melalui proyek CA-EDC ini, Edi optimis Chandra Asri dapat memberi dampak positif bagi perekonomian Indonesia khususnya dalam pengembangan industri kimia nasional, sehingga membantu mewujudkan program Asta Cita mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen.
Sektor Strategis
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT), Kementerian Perindustrian, Taufiek Bawazier, menyampaikan bahwa industri kimia merupakan salah satu sektor strategis. Tahun 2024, kelompok sektor industri kimia, farmasi dan obat tradisional bertumbuh 5,86 persen.
“Ini melampaui pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,03 persen,” ujar Taufiek.
Selama ini, menurutnya, industri kimia memenuhi kebutuhan bahan baku bagi sektor manufaktur lainnya seperti industri plastik dan industri tekstil. Demand tersebut diisi oleh produksi dalam negeri, sehingga akan berdampak positif terhadap peningkatan added value, yang berujung pada penyerapan tenaga kerja.
Industri kimia berkontribusi signifikan terhadap penerimaan devisa. Tahun 2024, capaian nilai ekspornya menembus US$ 17,39 miliar.
“Untuk semakin memacu kinerja industri kimia ini, challenge kita adalah Indonesia perlu menumbuhkan ekosistem sektor petrokimia dan energi yang terintegrasi sehingga lebih berdaya saing,” jelas Taufiek.
Realisasi investasi industri kimia sepanjang tahun 2024 mencapai Rp 65,76 triliun. Untuk mendorong investasi di sektor ini, Kementerian Perindustrian melaksanakan program kebijakan fasilitasi investasi industri petrokimia seperti di Teluk Bintuni, Tanjung Enim, dan Kutai Timur.
“Kinerja industri kimia akan turut memberikan andil signfikan terhadap target pemerintah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen pada lima tahun ke depan. Untuk mencapai sasaran tersebut, sektor IKFT yang termasuk di dalamnya industri kimia, akan memberikan kontribusi nilai tambah Rp46,09 triliun tahun 2029,” paparnya.
Sementara peneliti INDEF, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan pabrik CA-EDC memberi multiplier effect bagi industri baterai listrik nasional.
“Jadi kami melihat peran Indonesia dalam rantai suplai global EV itu semakin besar, salah satunya dengan menjaga kemandirian produksi kostik soda. Itu dapat berkontribusi buat pengembangan baterai EV. Sehingga ekspor EV dalam rantai pasar global akan semakin besar,” ungkap Heri.