Perluasan Lahan Sawit Bertentangan dengan Penurunan Emisi •
Ilustrasi salah satu perkebunan sawit di Sumatera (Aprobi).
Jakarta, – Rencana Presiden Prabowo Subianto memperluas lahan sawit dengan membuka lahan hutan dianggap bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk memangkas emisi. Sekalipun dengan pertimbangan swasembada energi nasional, rencana ini diyakini bakal lebih banyak memicu dampak negatif, termasuk meningkatkan emisi dan membuat Indonesia semakin jauh dari cita-cita transisi energi.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyatakan pembukaan hutan dengan alasan apapun sangat berbahaya dan merugikan. Aksi ini juga bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dan turut berkontribusi dalam menurunkan suhu bumi, sesuai dengan Perjanjian Paris yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No 6 Tahun 2016.
“Pembukaan lahan hutan akan melepaskan emisi karbon dan semakin memperparah krisis iklim yang sudah terjadi. Ancaman kekeringan, banjir dan kebakaran hutan akan semakin tinggi. Artinya upaya membuka hutan dengan alasan ketahanan pangan, energi, dan sumber air adalah alasan yang dibuat-buat, ini semata-mata hanya akan menguntungkan segelintir orang dari industri kelapa sawit,” kata Iqbal dalam pernyataan tertulis yang diperoleh PETROMINER, Rabu (8/1).
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, menjelaskan bahwa rencana perluasan lahan sawit 20 juta hektar jauh lebih besar dari yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 7/2021.
Beleid ini mengalokasikan 12,8 juta ha hutan produksi konversi (HPK) sebagai cadangan energi dan pangan. Padahal, pembukaan hutan alam seluas 4,5 juta ha saja untuk lahan energi atau pangan, akan melepaskan sebesar 2,59 miliar ton emisi karbon.
“Ini menunjukkan betapa pemerintah tidak punya komitmen reforestasi dan rehabilitasi hutan alam. Padahal di tengah ancaman krisis iklim, kita tidak punya kemewahan untuk melakukan deforestasi. Kementerian Kehutanan punya PR untuk menuntaskan tata batas kawasan hutan. Jangan bicara soal perluasan sawit tidak akan menimbulkan deforestasi, kalau tata batas dan tata kelola kawasan hutan kita belum beres,” ungkap Amalya.
Sementara Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, menegaskan bahwa deforestasi bukan sekadar hilangnya hutan dan naiknya emisi, namun lingkungan Indonesia juga akan semakin rusak.
“Pernyataan Presiden Prabowo yang menyebutkan lahan sawit tidak akan menyebabkan deforestasi adalah pernyataan yang keliru, karena tanaman sawit bersifat monokultur yang akan menghancurkan fungsi hutan sebagai ekosistem alami bagi keanekaragaman hayati, merusak tanah, dan sistem hidrologi,” ujar Sartika.
Tak hanya itu, perluasan lahan sawit juga akan mengancam lahan gambut yang berkontribusi sebagai penyerap emisi karbon alami. Padahal, luas ekosistem gambut Indonesia mencapai 24,66 juta ha, salah satu yang terluas di dunia.
Dengan sekitar 3 juta ha (19 persen) perkebunan sawit berada di wilayah gambut, perluasannya akan menyebabkan lahan gambut kering dan meningkatkan potensi terjadinya kebakaran pada musim kemarau. Ujungnya, emisi Indonesia akan meningkat.
Salah Arah
Menurut Amalya, kebijakan energi Indonesia yang mendorong bioenergi juga turut berkontribusi pada perluasan lahan sawit. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), Indonesia mendorong pemanfaatan bioenergi sebagai energi terbarukan utama hingga tahun 2040.
Kemudian, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP29, Indonesia juga menyatakan akan meningkatkan campuran biodiesel hingga 50 persen (B50). Namun, langkah ini justru bertentangan dengan cita-cita transisi energi untuk menurunkan emisi.
“Emisi dari pembukaan hutan belum lagi ditambah emisi dari pembakaran sawit, baik sebagai biofuel di transportasi maupun biomassa di kelistrikan, akan memperparah krisis iklim. Di sektor energi, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan bioenergi, terutama dari bahan baku sawit dan kayu,” paparnya.
Hal senada juga disampaikan Sartika. Menurutnya, rencana perluasan lahan sawit erat kaitannya dengan cita-cita swasembada energi Presiden Prabowo melalui pengembangan biodiesel dan co-firing biomassa dari produk sawit di PLTU. Hal ini karena, untuk pengembangan B50 saja, dibutuhkan perluasan lahan sawit hingga 2,5-3 kali lipat dari saat ini yang telah mencapai 16 juta hektar.
Tak hanya itu, perluasan lahan sawit dan pemanfaatannya sebagai bahan baku co-firing biomassa di PLTU justru akan menghambat akselerasi transisi energi. Langkah tersebut dapat memperpanjang pemanfaatan batubara pada PLTU yang seharusnya segera dipensiunkan. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Prabowo pada agenda G20 di Brazil terkait rencana penutupan PLTU dalam 15 tahun ke depan.
“Swasembada energi memang penting, tapi jika mengorbankan hutan melalui konversi lahan menjadi kebun sawit monokultur, menjadi kurang tepat. Jangan sampai kita menyelesaikan satu masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks,” tegas Sartika.