Perlunya Komitmen Politik untuk Kejar Target Bauran EBT •

Fabby Tumiwa

Jakarta, – Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pencapaian energi terbarukan di tahun 2023 sangat kontras dengan peningkatan produksi dan pemanfaatan energi fosil yang terus meningkat. Tren ini berlawanan dengan semangat transisi energi menuju net-zero emission (NZE) yang telah digaungkan pemerintah sejak tahun 2021 lalu.

Hal ini disampaikan mengomentari paparan Menteri ESDM, Arifin Tasrif, dalam konperensi pers terkait Capaian Sektor ESDM Tahun 2023 & Program Kerja Tahun 2024 yang menyebutkan bahwa realisasi energi baru terbarukan pada tahun 2023 hanya sebesar 13,1 persen. Capaian ini tidak mencapai target 17,9 persen dan bahkan masih jauh dari target 23 persen pada tahun 2025.

“IESR menilai rendahnya pencapaian bauran target energi terbarukan bersifat sistemik. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya keterlambatan lelang pembangkit energi terbarukan oleh PLN sejak tahun 2019, kendala eksekusi proyek-proyek yang sudah kontrak karena bankability, kenaikan tingkat suku bunga keuangan dalam dua tahun terakhir, serta pandemi Covid-19,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, Selasa (16/1).

Sejumlah proyek energi terbarukan, terutama PLTA dan PLTP yang menjadi andalan pemerintah seperti PLTA Batang Toru, PLTP Baturaden dan PLTP Rajabasa yang mundur waktu penyelesaiannya ditengarai berkontribusi pada rendahnya capaian bauran energi terbarukan di 2023. Demikian juga proses revisi Permen ESDM No. 26/2021 yang berlarut-larut menghambat implementasi PLTS atap, sehingga PSN PLTS atap 3,6 GW tidak berjalan.

Pemerintah berencana untuk mengejar pembangunan pembangkit energi baru terbarukan skala besar, di antaranya PLTS terapung dan PLTB. Peta jalan PLTS atap pun telah disiapkan dengan target 2023 sebesar 900 MW, dan 2024 sebesar 1800 MW. Hanya saja, menurut Fabby, regulasi PLTS atap yang tak kunjung selesai membuat adopsi PLTS atap turun di sektor residensial dan bisnis, masing-masing sebesar 20 persen dan 6 persen.

“Akibatnya, berdasarkan analisis IESR, pada kuartal kedua 2023, kapasitas terpasang dari PLTS atap kumulatif hanya mencapai 100 MW, jauh di bawah target yang seharusnya mencapai 900 MW pada tahun 2023,” ungkapnya.

Menurut Fabby, Pemerintah  masih punya waktu dua tahun untuk mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan, tapi perlu ada komitmen politik, dukungan PLN, dan langkah-langkah extraordinary. Antara lain mempercepat eksekusi-eksekusi proyek yang sudah kontrak, khususnya dari Independent Power Producer (IPP), Pemerintah harus mendesak PLN melakukan lelang pembangkit skala besar secara reguler selama tahun ini, penyederhanaan negosiasi Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement/PPA) sehingga proyek-proyek tersebut bisa dieksekusi tahun ini.

“Untuk mengejar target 10,6 GW dalam dua tahun, pemerintah harus mengandalkan PLTS terapung, ground mounted dan ditambah dengan 3,6 GW target kapasitas terpasang PLTS atap. Oleh karena implementasi revisi Permen No. 26/2021 tidak boleh lagi tertunda,” jelas Fabby.

Investasi

Dia menegaskan bahwa untuk mengakselerasi pertumbuhan investasi energi terbarukan, Pemerintah perlu membantu mempersiapkan proyek energi terbarukan yang dapat diimplementasikan dan layak untuk dibiayai. Apalagi, investasi energi terbarukan tahun 2023 hanya mencapai US$ 1,5 miliar dari target US$ 1,8 miliar.

Sementara untuk tahun 2024, Pemerintah menargetkan US$ 2,6 miliar. Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan pendanaan energi terbarukan sebesar US$ 25 miliar per tahun hingga tahun 2030 untuk mencapai  NZE pada tahun 2060.

Fabby menduga ada permasalahan struktural yang menyebabkan target investasi energi terbarukan tidak pernah tercapai selama era pemerintahan Presiden Jokowi, sementara di dunia, investasi energi terbarukan terus meningkat bahkan melampaui investasi energi fosil dalam lima tahun terakhir.

Untuk itu, dia mengusulkan adanya evaluasi serius terhadap persoalan ini sehingga pemerintah bisa dengan cepat memperbaiki lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) perbaikan iklim investasi energi terbarukan, salah satunya tinjauan ulang atas subsidi batubara lewat skema DMO dan domestic coal pricing obligation untuk PLTU PLN.

“Dari laporan capaian Kementerian ESDM ini, Menteri ESDM sudah mengakui biaya energi terbarukan dan biaya integrasi untuk PLTS dan PLTB sudah dapat kompetitif dengan PLTU baru. Seharusnya sudah tidak ada keraguan lagi dalam memberikan dukungan akselerasi energi terbarukan. Perlu diperhatikan kesenjangan (gap) dan penundaan (delay) di pengembangan energi terbarukan dari hulu ke hilir dan coba dibangun strateginya. Ini termasuk dari identifikasi dan pengembangan kandidat proyek energi terbarukan awal, proses masuknya kandidat ke perencanaan PLN, bagaimana proses pengadaan energi terbarukan di PLN, serta alokasi risiko yang jelas antara PLN dan IPP bagi energi terbarukan yang dikembangkan swasta,” ungkap Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo.