Program CSR PHSS Ciptakan Alat Pintal Limbah Tali Kapal •
Program CSR PHSS berhasil menciptakan alat bernama Barotech, yakni alat pemintal tali bekas kapal yang mampu meningkatkan efisien dan produktivitas.
Muara Badak, – Program CSR unggulan PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) berhasil melahirkan inovasi pemanfaatan kembali limbah tali kapal. Bersama Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Balanipa, PHSS mendaur ulang limbah tali dengan teknologi Balanipa Rope Technology (Barotech).
“Barotech merupakan alat pemintal tali bekas kapal yang berhasil meningkatkan efisiensi dan produktivitas KUBE Balanipa,” ujar Head of Communication Relations & CID Zona 9, Elis Fauziyah, Jum’at (11/10).
KUBE Balanipa berdomisili di Muara Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Inovasi yang dikembangkan dalam program ini adalah pemanfaatan kembali tali kapal melalui teknologi Barotech.
Solusi ini telah meningkatkan efisiensi dan produktivitas, karena alat ini mampu menghemat waktu produksi, dari sebelumnya 30 menit per rol tali menjadi hanya 10 menit. Dengan demikian, kelompok usaha itu dapat memproduksi hingga 25 rol tali per hari, meningkat dari sebelumnya hanya 6 rol tali.
Kualitas tali yang dihasilkan juga lebih baik, karena hasil pintalan lebih erat dan kuat dibandingkan metode manual. Alat ini telah mendapatkan paten sederhana dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan nomor IDS000006015. Program ini terbukti memberikan dampak signifikan pada ekonomi masyarakat.
Elis mengatakan program ini memberikan manfaat besar bagi usaha kecil dan menengah (UMKM) yang mempraktikkan ekonomi sirkular. Selain menghasilkan omzet yang besar, usaha ini melibatkan warga sekitar dan memberdayakan kaum perempuan.
Dari segi ekonomi, menurutnya, kelompok usaha ini mampu meraih omzet hingga Rp 217,5 juta per bulan. Penjualan tali rumpon pun sangat diminati, sehingga kelompok ini berhasil menjual 750 rol tali dengan harga Rp 290 ribu per rol.
“Dampaknya, pendapatan anggota kelompok bisa mencapai Rp 2 juta per bulan,” papar Elis.
Selain itu, nelayan yang menggunakan tali tersebut juga mendapat manfaat. Mereka bisa hemat hingga Rp 1 juta per rol tali dibandingkan harus membeli tali baru.
Selat Makassar
Program ini berawal dari kondisi di perairan Muara Badak yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar, yang strategis bagi lalu lintas kapal dan menjadi sumber daya perikanan penting. Namun lalu lintas kapal besar telah membawa dampak negatif berupa sampah laut. Salah satunya adalah limbah tali bekas kapal hingga 180 ton per tahun.
PHSS melihat kondisi ini sebagai tantangan dan menyadari bahwa tali tersebut dapat diolah kembali menjadi tali rumpon, yang biasa digunakan oleh nelayan. Dengan kombinasi bahan baku seperti nylon, sutera, dan semi-sutera, tali rumpon yang dihasilkan lebih kuat serta lebih murah dibandingkan produk serupa di pasaran. Tidak hanya itu, tali bekas tersebut juga dapat diolah menjadi produk turunan lainnya, seperti tempat sampah, aksesoris, wall mirror, dan stools ecobrick, yang memiliki nilai tambah dan mendukung upaya pengurangan limbah.
Manager PHSS Field, Widhiarto Imam Subarkah, menyampaikan awalnya, program ini dimulai dari kelompok kecil, tetapi masalah keamanan dan kualitas produk menjadi tantangan yang perlu dikelola dengan baik.
“Di situlah, PHSS terlibat langsung untuk membantu mengatasinya,” ungkap Imam.
Dari aspek kesejahteraan, 14 anggota kelompok usaha telah memperoleh peningkatan kemampuan dalam pencegahan kebakaran. Pelatihan pemanfaatan tali bekas untuk dijadikan kerajinan juga telah diberikan kepada 18 penerima manfaat, sementara 20 anggota kelompok lainnya mendapat pelatihan dalam penggunaan teknologi Barotech.
Program ini juga didukung Local Hero Sahabuddin, yang turut menekankan pentingnya menjaga lingkungan dari pencemaran laut akibat limbah.
“Kita harus memastikan limbah tali kapal ini tidak dibuang ke laut. Kami bahkan sudah berhasil mereplikasi program ini hingga ke Sulawesi Barat,” ujar Sahabuddin, yang aktif dalam inisiatif tersebut.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Kutai Kartanegara, Arianto, juga menyampaikan dukungannya terhadap program ini.
“Program Balanipa adalah yang pertama dan satu-satunya inisiatif pemanfaatan tali bekas kapal menjadi rumpon di Kabupaten Kutai Kartanegara,” katanya.
Menurut Arianto, program ini sangat bermanfaat karena dapat membantu mengurangi kemiskinan melalui dampak langsung yang dirasakan oleh anggota kelompok.
Dengan adanya kolaborasi antara masyarakat, UMKM, PHSS serta pemerintah, program Balanipa diharapkan terus berkembang, memberikan dampak positif bagi pelestarian lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat secara berkelanjutan melalui kemampuan pemasaran serta teknologi hingga mencapai kemandirian.