Proyek ibu kota Indonesia akhirnya mendapat pedoman untuk menghindari kerusakan terhadap keanekaragaman hayati
- Dilanda kritik atas dampak lingkungan dan sosialnya, proyek kontroversial pembangunan ibu kota baru Indonesia di hutan Kalimantan akhirnya mengeluarkan pedoman pengelolaan keanekaragaman hayati.
- Presiden Indonesia memuji proyek Nusantara sebagai “kota hutan hijau,” namun saat ini hanya 16% dari total wilayahnya yang merupakan hutan hujan utuh.
- Rencana induk keanekaragaman hayati yang baru menguraikan empat poin kebijakan mitigasi yaitu menghindari kerusakan, meminimalkan dampak yang tidak dapat dihindari, memulihkan lanskap yang rusak, dan memberikan kompensasi atas dampak yang tersisa.
- Rencana induk tersebut mempertimbangkan masukan dari para ahli, namun beberapa diantaranya tidak masuk dalam dokumen akhir, termasuk seruan agar kebijakan mitigasi diperluas ke wilayah yang lebih luas di luar kawasan Nusantara.
JAKARTA — Pemerintah Indonesia meluncurkan apa yang mereka sebut “rencana induk pengelolaan keanekaragaman hayati” di tengah meningkatnya kritik terhadap ancaman lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh pembangunan ibu kota baru di hutan Kalimantan.
Rencana tersebut, yang diterbitkan pada tanggal 26 Maret, menguraikan sejumlah rencana aksi untuk melestarikan habitat satwa liar, melindungi spesies, dan memulihkan ekosistem yang rusak di ibu kota baru, yang dikenal sebagai Nusantara, hingga tahun 2029.
Tujuan utamanya adalah memastikan 65% wilayah ibu kota baru merupakan hutan hujan tropis, dengan menetapkan kawasan lindung dan merehabilitasi lahan dan hutan terdegradasi.
Zona “lindung” kota baru ini mencakup wilayah seluas 177.000 hektar (437.400 hektar), dimana hanya 2% dari jumlah tersebut yang saat ini merupakan hutan alam yang tidak terganggu. Kurang dari seperempatnya merupakan hutan terdegradasi atau hutan sekunder – akibat penebangan dan kebakaran – sementara sisanya merupakan konsesi perkebunan dan pertambangan. Dengan sebidang kecil hutan utuh sebagai permulaan, dan begitu banyak lahan terdegradasi untuk dihutankan kembali, mencapai apa yang disebut oleh Presiden Joko Widodo sebagai “kota hutan hijau” akan menjadi sebuah tantangan, kata para ahli.
Sejak akhir tahun 2022 hingga akhir tahun 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya melakukan reboisasi seluas 1.441 hektar (3.561 hektar) di kawasan Nusantara, jumlah yang sangat kecil dari target pemerintah untuk menghutankan kembali lahan seluas 120.000 hektar (296.500 hektar) hingga tahun 2045.
Para ahli menemukan bahwa upaya reboisasi terhambat oleh penanaman sembarangan, penanaman spesies pohon non-asli, ditambah dengan praktik penanaman dan pemantauan yang buruk.

Agar program reboisasi berhasil, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan semua aspek lingkungan, termasuk kondisi tanah dan iklim, menurut Willie Smits, pendiri lembaga nirlaba Borneo Orangutan Survival Foundation dan anggota komite independen. dari sembilan ahli yang memantau aspek lingkungan dan sosial dari proyek Nusantara.
Memahami hal ini akan memungkinkan pemerintah menentukan spesies pohon yang tepat untuk ditanam sehingga mereka dapat tumbuh membentuk hutan hujan tropis, bukan perkebunan pohon monokultur, kata Smits. Namun hingga saat ini, pemilihan benih masih dilakukan secara serampangan.
“Untuk mengembalikan satwa liar, penting untuk memilih yang tepat [tree] spesies juga. Saat ini, mereka mengumpulkan banyak benih, tapi secara acak,” kata Smits.
Namun terlepas dari kendala yang ada, katanya, ada kemungkinan untuk mengembalikan lanskap tersebut menjadi hutan hujan. Ia mencontohkan kasus Samboja Lestari, pusat penyelamatan dan rehabilitasi orangutan milik BOSF yang juga merupakan proyek reboisasi hutan hujan tropis di Samboja, sebuah kecamatan yang berdekatan dengan Nusantara.
Situs Samboja Lestari seluas 1.854 hektar (4.581 acre) dulunya merupakan lahan gundul yang ditutupi rumput cogon yang sangat rawan kebakaran dan tidak memiliki pepohonan serta satwa liar. BOSF memimpin kampanye penanaman hampir 1.000 spesies pohon untuk menghutankan kembali lahan tersebut, sehingga menghasilkan pertumbuhan hutan sekunder dan kembalinya 163 spesies burung dan satwa liar lainnya, kata Smits.
“Jadi kita bisa belajar dari pengalaman yang ada di lokasi ibu kota baru itu sendiri,” ujarnya.

Pemantauan dan pendidikan
Sebagai bagian dari rencana induk yang baru, lembaga pemerintah yang mengawasi pembangunan Nusantara, yang dikenal sebagai OIKN, telah mengidentifikasi tujuh kawasan di seluruh lokasi dan sekitarnya yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, sehingga memiliki nilai konservasi yang tinggi. Dikatakan bahwa mereka juga telah mengkatalogkan 3.889 spesies satwa liar, termasuk 454 burung, 206 spesies reptil dan 168 mamalia, yang terdapat dalam radius 50 kilometer (30 mil) dari Nusantara.
Ini termasuk orangutan Kalimantan (Pongo kerdil), beruang madu (Helarctos malayanus), bekantan (Larvatus hidung), Lumba-lumba Irawaddy (Orcaella brevirostris), dan berbagai jenis burung enggang.

Untuk menjamin kelangsungan hidup spesies-spesies ini, OIKN menyatakan akan melibatkan para ahli, memetakan ekosistem dan spesies penting, mencegah pembukaan lahan atau penebangan kayu selama musim kawin, mentranslokasi tanaman dan hewan, serta memantau program dan kemajuannya.
“Kami akan rutin memantau [ecosystems and habitats] baik menggunakan satelit maupun verifikasi di lapangan,” kata Pungky Widiaryanto, direktur pemanfaatan hutan dan pengembangan sumber daya air di OIKN.
Badan ini juga akan melibatkan masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam memantau bentang alam dan upaya konservasi, menurut Myrna Asnawati Safitri, wakil OIKN bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam.
“Kami akan membangun pengetahuan tentang hutan dan pengelolaan hutan di Nusantara dengan mengumpulkan pengetahuan dari berbagai sumber, termasuk pengetahuan tradisional. Dan kami sebagai entitas pemerintah akan memfasilitasi pertukaran pengetahuan ini,” ujarnya.
Pendidikan merupakan komponen penting dari program perlindungan keanekaragaman hayati yang sedang direncanakan, sesuai dengan rencana induk, karena ibu kota baru diperkirakan akan menampung hingga 2 juta penduduk pada tahun 2045.
Masyarakat tersebut harus hidup berdampingan dengan satwa liar di berbagai kawasan bernilai konservasi tinggi, sehingga penting bagi pemerintah untuk mengedukasi dan mengubah pola pikir masyarakat yang akan tinggal di Nusantara, kata Myrna. Hal ini akan membantu mencegah terjadinya konflik manusia-satwa liar, tambahnya.
“Bagaimana caranya agar masyarakat di Nusantara memiliki pola pikir yang mau berbagi ruang hidup dengan spesies lain? Ini hal baru bagi Indonesia, jadi kami sedang mempersiapkan kampanye dan edukasi [for future citizens of Nusantara],” kata Myrna.

Hindari, minimalkan, pulihkan
Rencana induk tersebut menguraikan empat poin hierarki untuk memitigasi dampak pembangunan Nusantara yang sedang berlangsung terhadap lingkungan. Poin pertama adalah penghindaran, yang mana pengembang harus mengambil langkah-langkah untuk menghindari dampak sejak awal dengan menghindari pembangunan infrastruktur di dalam atau di dekat habitat kritis atau tempat berkembang biaknya spesies-spesies kunci.
Contoh utama dari penghindaran proyek ini sejauh ini adalah pembatalan rencana awal untuk membangun ibu kota baru di sebelah teluk di Balikpapan, sebuah kota pelabuhan yang sibuk di provinsi Kalimantan Timur. Namun karena terdapat hutan bakau dan keanekaragaman hayati yang tinggi di kawasan Teluk Balikpapan, proyek Nusantara akhirnya dipindahkan lebih jauh ke daratan, kata Pungky.
Poin mitigasi kedua, jika penghindaran tidak mungkin dilakukan, adalah minimalisasi untuk mengurangi durasi, intensitas dan luasnya dampak yang tidak dapat dihindari. Contohnya termasuk langkah-langkah untuk mengurangi kebisingan dan polusi, merancang saluran listrik untuk mengurangi kemungkinan tersengat listrik oleh burung, dan membangun penyeberangan jalan bagi satwa liar.
Pungky mencontohkan kasus pembangunan tol yang menghubungkan Nusantara hingga Balikpapan yang seharusnya mengurangi separuh waktu tempuh dari saat ini menjadi 2 jam saat ini. Proyek ini awalnya mengharuskan pembangunan jalan sepanjang rute langsung yang akan melintasi wilayah yang disebut Sepaku, katanya. Namun penilaian menunjukkan bahwa hal ini akan menimbulkan dampak lingkungan yang besar.
Alhasil, OIKN mengubah rencana jalan melewati Sepaku. Namun, rute baru ini melintasi zona penyangga hutan di hutan lindung Sungai Wain, yang merupakan rumah bagi hutan hujan Dipterocarpaceae tua dan beberapa satwa liar paling terancam di dunia, termasuk beruang madu, spesies rentan yang menjadi maskot Balikpapan, dan orangutan. .
Para aktivis telah memperingatkan bahwa jalan tersebut akan memotong koridor alami satwa liar dan memecah-mecah habitat mereka. Sebuah insiden tahun lalu di mana seekor orangutan terlihat melintasi lokasi pembangunan jalan menunjukkan bahwa proyek tersebut telah berdampak pada satwa liar, kata mereka.
Di sinilah langkah minimalisasi lainnya, yaitu koridor satwa liar buatan dalam bentuk terowongan dan jembatan, perlu dilakukan, menurut Pungky.
“Kami sedang membangun koridor buatan agar satwa liar bisa menyeberang dari hutan lindung Sungai Wain hingga Teluk Balikpapan,” ujarnya. Jalan tersebut rencananya akan dibuka pada Juni 2024.

Poin mitigasi ketiga adalah rehabilitasi dan restorasi, dimana pengembang harus mengembalikan kawasan yang terkena dampak ke keadaan semula, atau setidaknya mengembalikan fungsi dasar ekologi atau jasa ekosistem, seperti melalui penanaman pohon.
Poin mitigasi terakhir adalah kompensasi, yaitu tindakan konservasi yang dilakukan untuk mengkompensasi dampak sisa terhadap keanekaragaman hayati yang timbul dari kegiatan proyek serta tindakan penghindaran, minimalisasi, dan restorasi.

Tidak semua rekomendasi ahli dilaksanakan
Meskipun rencana induk pengelolaan keanekaragaman hayati telah memasukkan masukan dari para ahli, beberapa rekomendasi tidak dimasukkan ke dalam dokumen akhir.
Salah satunya adalah rencana induk yang mencakup wilayah yang lebih luas, melebihi radius 50 km, mengingat keberlangsungan ekosistem di bagian timur Kalimantan ini. Namun hal ini terhambat oleh masalah yurisdiksi, menurut Myrna dari OIKN.
“Kami sedang berjuang [to do that] karena kita harus bicara dengan wilayah administratif lain di sekitar Nusantara yang mungkin memakan waktu lebih lama,” ujarnya. “Sementara itu, ada kebutuhan mendesak untuk memiliki rencana induk. Jadi kita batasi dulu cakupannya di Nusantara. Jika pemerintah daerah mempunyai pemahaman yang sama [of biodiversity protection]maka kita dapat memperluas cakupan kita [in future].”
Rekomendasi ahli lainnya yang tidak diadopsi adalah agar lebih banyak orangutan dimasukkan ke lanskap Nusantara, kata Pungky. Meskipun terdapat orangutan di kawasan tersebut, namun spesies tersebut bukanlah spesies asli di lokasi tersebut, katanya. Sebaliknya, mereka adalah orangutan yang diselamatkan dari perdagangan ilegal satwa liar atau dari konflik manusia-satwa liar dan dipelihara kembali di lokasi terdekat seperti hutan lindung Sungai Wain dan Samboja Lestari, kata Pungky.
“Masih ada perdebatan [on whether this is a good idea]jadi kami belum bisa mengakomodir ide itu,” ujarnya.
Gambar spanduk: Dua ekor bekantan jantan di Kalimantan, Malaysia. Gambar oleh Rhett A. Butler/Mongabay.
UMPAN BALIK: Gunakan formulir ini untuk mengirim pesan kepada penulis postingan ini. Jika Anda ingin memposting komentar publik, Anda dapat melakukannya di bagian bawah halaman.

