Sampai 2040, Indonesia Perlu Matikan PLTU 3 GW Per Tahun •

Petugas PLN melakukan pengecekan biomassa yang berasal dari serbuk kayu untuk digunakan sebagai substitusi bahan bakar batubara atau co-firing di PLTU Suralaya, Cilegon, Banten.

Jakarta, – Jika ingin bebas dari listrik batubara di tahun 2040, Indonesia perlu menurunkan kapasitas pembangkit listrik berbasis batubara (PLTU) sebesar 3 gigawatt (GW) per tahun. Secara paralel, Indonesia juga mesti meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga 8 GW pada periode yang sama.

Hal ini diungkapkan dalam analisis terbaru EMBER bertitel “Pensiun Pembangkit Listrik Batubara di Indonesia pada 2040 Membutuhkan Peningkatan EBT,” yang diperoleh PETROMINER, Rabu (4/12).

Merujuk analisis ini, komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan penggunaan batubara secara bertahap di tahun 2040 dan menambah energi terbarukan sebesar 75 GW, menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya mendekarbonisasi pasokan listrik.

“Indonesia berada di titik penentu untuk mengakhiri penggunaan batubara pada tahun 2040,” ungkap Analis Senior Kebijakan Ketenagalistrikan untuk Asia Tenggara EMBER, Dinita Setyawati, selaku salah satu penulis analisis terbaru ini.

Menurut Dinita, bahan baku untuk komponen baterai menjadi kekuatan utama Indonesia dalam mendukung kapasitas penyimpanan energi terbarukan. Hal ini menghadirkan potensi besar untuk mengintegrasikan energi surya dengan baterai, yang akan memfasilitasi transisi menuju ekonomi hijau.

Analisis EMBER mengungkapkan, dalam jaringan PT PLN (Persero), kapasitas PLTU perlu diturunkan sebesar 3 GW per tahun dengan target pensiun PLTU secara menyeluruh pada tahun 2040.

Pada saat yang sama, kapasitas energi terbarukan perlu naik 8 GW per tahun hingga mencapai 65 persen dari proyeksi permintaan listrik 806 terawatt hour (TWh) pada tahun 2040. Hitungan ini dengan proyeksi permintaan listrik tumbuh 5 persen per tahun.

Secara rinci, tenaga Surya akan menyumbang 20 persen, angin 11 persen, dan sumber energi terbarukan lainnya, seperti nuklir, panas bumi, bioenergi, dan hidro, akan berkontribusi sebesar 34 persen. Untuk memaksimalkan pemanfaatan energi surya, Indonesia juga perlu mengintegrasikan penyimpanan baterai 4 GW per tahun hingga tahun 2040, terutama karena beban puncak listrik terjadi pada malam hari.

Proyeksi tidak ada penambahan PLTU batubara, dengan asumsi pertumbuhan permintaan listrik 5 persen (analisis EMBER).

Analisis EMBER juga mencakup beberapa rekomendasi untuk merealisasikan dekarbonisasi listrik di Indonesia.

Rincinya, keterlibatan sektor swasta yang lebih besar, integrasi penyimpanan energi untuk memaksimalkan penggunaan tenaga surya, kerangka kerja peraturan yang komprehensif untuk pensiun dini PLTU, rencana diversifikasi ekonomi untuk provinsi-provinsi yang bergantung pada batubara, peningkatan konektivitas jaringan listrik, fleksibilitas PLTU yang lebih baik, dukungan keuangan, dan menyertakan batubara di luar jaringan PLN (PLTU captive) ke dalam rencana pensiun dini PLTU.

“Sebagai pemilik pembangkit listrik tenaga batubara terbesar kelima di dunia, ambisi Indonesia untuk memensiunkan PLTU pada tahun 2040 adalah titik balik signifikan,” ungkap Manajer Komunikasi Asia EMBER, Rini Sucahyo.

Untuk mencapainya, menurut Rini, Indonesia perlu mempercepat ekspansi energi terbarukan dan merumuskan kebijakan transisi yang adil. Ini adalah tantangan yang berat, namun merupakan peluang bagi Indonesia untuk mewujudkan perekonomian yang berkelanjutan dan juga berpotensi mengubah penggunaan batubara global.

Pemensiunan PLTU secara bertahap hingga tahun 2040 akan memposisikan Indonesia untuk mencapai target iklim global 1,5 C. Hal ini menandai sebuah langkah signifikan menuju masa depan yang berkelanjutan dan rendah karbon.

Dengan melakukan transisi energi, Indonesia tidak hanya berkontribusi pada tujuan iklim global, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan memastikan kondisi iklim dan lingkungan yang lebih aman.