Sinergi Pemangku Kepentingan, Kunci Optimalisasi Potensi Panas Bumi •
Ilustrasi pekerja di proyek panas bumi Pertamina yang dapat menciptakan nilai jangka panjang dan keberlanjutan untuk mendukung pencapaian Net Zero Emissions tahun 2060 sekaligus menjaga ketahanan energi nasional.
Jakarta, – Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci utama dalam mencapai target kapasitas pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 10,5 GW pada tahun 2035. Berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, industri, akademisi, media massa, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memastikan transisi energi berjalan lancar menuju target Indonesia Emas 2045 dan net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Lebih dari itu, pengembangan energi panas bumi di Indonesia harus dioptimalkan untuk mendukung ketahanan energi nasional. Sinergi ini diharapkan tidak hanya memajukan sektor energi, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin global dalam energi terbarukan. Melalui pendekatan pentahelix, setiap pihak diharapkan dapat berkontribusi sesuai peran masing-masing.
Demikian benang-merah yang mengemuka pada webinar bertajuk “Peran Penting Industri Panas Bumi Dalam Kebijakan Transisi Energi dan Pencapaian Target Indonesia Emas 2045” yang diselenggarakan ReforMiner Institute, Kamis (24/10). Diskusi secara daring ini menghadirkan pembicara Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk., Julfi Hadi, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) unsur konsumen, Dina Nurul Fitria, Redaktur Kompas Online, Aprillia Ika, dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro.
Selama dua jam, para pembicara membahas pentingnya sinergi dan kolaborasi dalam mewujudkan target energi bersih di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa energi panas bumi adalah sumber daya yang sangat penting dalam upaya transisi energi nasional. Media massa diakui sebagai mitra strategis dalam edukasi publik tentang manfaat energi terbarukan ini.
Dalam kesempatan itu, Julfi menegaskan komitmen PGE untuk terus mengembangkan kapasitas PLTP guna memenuhi target yang telah ditetapkan. Saat ini, Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia dengan potensi mencapai 23,7 GW, namun pemanfaatannya masih minim, hanya sekitar 2,2 GW.
“Dalam dua hingga tiga tahun mendatang, PGE menargetkan peningkatan kapasitas 1 GW dan tambahan 1,5 GW pada 2030,” ujarnya.
Menurut Julfi, PGE juga mengadopsi teknologi baru seperti pompa submersible listrik dan pengukur aliran dua fase untuk meningkatkan efisiensi operasional. Investasi untuk mencapai target ini diperkirakan mencapai US$ 17-18 miliar, dengan kontribusi signifikan terhadap PDB nasional sebesar US$ 21-22 miliar.
Sementara Dina menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan industri dalam menghadapi tantangan global. Pemerintah harus memberikan kepastian regulasi dan insentif yang mendukung pengembangan energi terbarukan, termasuk panas bumi. Pemerintah pusat dan daerah juga diharapkan dapat memberikan dukungan dalam bentuk kemudahan alokasi lahan dan kebijakan insentif untuk pengembangan infrastruktur energi terbarukan.
Aprillia menyoroti peran media dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya energi terbarukan seperti panas bumi. Media memiliki tanggung jawab besar dalam mengedukasi publik mengenai manfaat energi panas bumi serta tantangan yang dihadapi dalam pengembangannya.
Dukungan Kebijakan
Sedangkan Komaidi menyampaikan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mendukung pengembangan panas bumi yang berkelanjutan. Pengembangan panas bumi tidak hanya mengurangi ketergantungan pada energi fosil, tetapi juga memberikan stabilitas energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi.
Dia mencatat biaya operasional PLTP jauh lebih murah dibandingkan pembangkit listrik berbasis fosil, dengan rata-rata Rp 107,15/kWh. Selain itu, kapasitas operasi PLTP yang tinggi hampir setara dengan pembangkit listrik tenaga nuklir, memungkinkan efisiensi tinggi dalam jangka panjang.
“Tantangan regulasi dan biaya awal yang tinggi masih menjadi kendala bagi banyak investor,” ungkap Komaidi.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, dia menekankan pentingnya dukungan kebijakan yang optimal untuk menciptakan value creation dari produk turunan panas bumi. Contohnya, negara-negara seperti Selandia Baru dan Jepang telah sukses memanfaatkan produk turunan seperti green hydrogen dan ekstraksi silika untuk meningkatkan keekonomian proyek panas bumi.
Menurut Komaidi, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk mengembangkan produk-produk ini sebagai bagian dari industri energi terbarukan. Dengan demikian, pengembangan panas bumi dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi negara dan mendukung target transisi energi bersih.