Tak Sekadar Turunkan Emisi Karbon, Ahli Sebut Transisi Energi Harus Berkeadilan

Jakarta, TAMBANG – Sejumlah ahli yang fokus mengurusi soal keberlanjutan lingkungan menyebut transisi energi yang sedang dijalankan pemerintah saat ini tidak melulu soal menurunkan emisi karbon. Lebih dari itu, transisi energi harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip berkeadilan.

“Transisi energi saat ini salah logika. Sebab transisi energi tetap menggunakan logika pertumbuhan ekonomi yang (tetap) mengandalkan eksploitasi,” kata Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Indonesia, Torry Kuswardono dalam keterangan tertulis yang diterima tambang.co.id, Selasa (4/4).

Menurut dia, langkah mitigasi krisis iklim dalam transisi energi, prosesnya harus berkeadilan dan menjamin terjadinya integrasi ekosistem, lingkungan dan integritas sosial. Torry menilai transisi energi tidak hanya berpatokan pada target penurunan emisi semata.

“Tetapi harus mempertimbangkan siklus menyeluruh dari sektor energi dan dilakukan penilaian untuk melihat kemampuan adaptasi suatu daerah yang mengalami transisi energi dari berbagai faktor, serta bagaimana dampaknya,” beber dia.

Menurut dia, mitigasi energi yang tidak mempertimbangkan kemampuan adaptasi lingkungan kedepannya akan memunculkan masalah baru, misalnya dengan adanya kebijakan kendaraan listrik, perlu dilakukan asesmen bagaimana dampak pertambangan nikel bagi masyarakat sekitarnya, jangan sampai ada pihak-pihak yang dirugikan dalam bertransisi dan berujung pada ketidakadilan.

“Kami menilai transisi energi yang berkeadilan yang didorong pemerintah, masih belum jelas di mana letak keadilannya. Seperti apa prinsip-prinsip keadilan itu diterapkan? (Berkaca pada situasi saat ini), prinsip keadilan ini perlu didefinisikan ulang,” ujarnya.

Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry mengatakan bahwa prinsip ‘keadilan’ adalah hal yang paling fundamental pada transisi energi. Dalam mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan.

Trend Asia menggaungkan nilai, prinsip, dan langkah strategis dari transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia. Pertama akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif. Kedua penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia.Kemudian ketiga keadilan ekologis, keempat keadilan ekonomi dan kelima transformatif.

“Bukan sekedar transisi teknologi tetapi harus mendorong transformasi pembangunan ekonomi secara menyeluruh dari ekonomi ekstraktif dan sentralistik ke ekonomi yang regeneratif dan demokratis,” beber dia.

Adapun empat langkah strategis yang dapat dilakukan adalah (1) Percepatan pensiun dini PLTU dan pengakhiran pertambangan batu bara, (2) Meninggalkan solusi-solusi palsu transisi energi, (3) Reformasi PLN dan kebijakan energi, (4) Perancangan dan implementasi transisi energi yang akan memastikan bahwa transisi dijalankan secara berkelanjutan dengan titik tekan perlibatan publik dan proses yang bottom-up.

Detailnya, Ashov menjelaskan, Indonesia mempunyai target 23% untuk bauran Energi Terbarukan pada tahun 2025. Namun, hingga saat ini pencapaiannya masih rendah yaitu sekitar 11-12%.

Ini karena masih banyak kebijakan pemerintah yang kontradiktif, yakni masih berpihak pada industri fosil. Masih ada 13,8 Giga Watt PLTU yang dipertahankan pemerintah untuk terus dibangun tanpa tenggat waktu yang pasti untuk penghentian pembangunan PLTU batu bara baru, dan masih banyaknya insentif bagi industri batu bara.

“Aspek penting lainnya adalah bahwa konsep dan kerangka transisi energi yang berkeadilan belum didefinisikan dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu, yang dikhawatirkan adalah terjadinya transisi energi tetapi tidak menyasar pada masalah utamanya, bahkan menghasilkan solusi-solusi palsu seperti co-firing batu bara atau gasifikasi batu bara,” jelasnya.

Sebagai informasi, transisi energi yang berkeadilan atau Just Energy Transition sangat penting diterapkan dalam upaya menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mencapai target 31,89% yang tertera di dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Faktanya saat ini, pemahaman dan penerapan prinsip adil dalam proses transisi energi, melenceng dari pemahaman yang seharusnya.

Untuk diketahui, Trend Asia adalah organisasi masyarakat sipil independen yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi dan berkelanjutan di Asia.

Sementara Yayasan PIKUL adalah Organisasi non-profit, non-pemerintah yang diamanatkan untuk memperkuat kapasitas dan kelembagaan lokal di Indonesia Timur. Visinya mewujudkan masyarakat yang adil dan demokratis.