Telaah Kritis Industri Nikel: Menggali Keadilan Sosial dan Lingkungan •
Para pembicara di salah satu sesi Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia bertajuk “Telaah Kritis Industri Pertambangan dan Hilirisasi Nikel dengan Perspektif Keadilan Sosial dan lingkungan.”
Palu, – Koalisi 15 organisasi masyarakat sipil menggelar Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) bertajuk “Telaah Kritis Industri Pertambangan dan Hilirisasi Nikel dengan Perspektif Keadilan Sosial dan Lingkungan,” Rabu (9/10). Konferensi ini bertujuan untuk menelaah secara kritis aspek keadilan sosial, lingkungan, dan praktik tata kelola industri pertambangan mineral kritis di Indonesia.
Panitia KNMKI, Linda Rosalina, menjelaskan konferensi ini menjadi wadah bagi semua pihak untuk saling mendengarkan dan berbagi pandangan. Semangat bersama ini diharapkan dapat menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi semua.
“Konferensi ini menegaskan keseriusan kami dalam kerja-kerja advokasi nikel dan komitmen semua pihak yang hadir untuk memperjuangkan tata kelola industri nikel yang lebih adil, berkelanjutan, dan mengedepankan hak-hak masyarakat lokal serta lingkungan,” ujar Linda.
Menurut Direktur Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, hilirisasi nikel sampai saat ini terus menimbulkan masalah lingkungan dan sosial serius. Padahal, Indonesia tengah berupaya menjadi pemain kunci dalam rantai pasok nikel global, terutama dalam konteks transisi energi.
“Industri pengolahan nikel merupakan pengguna listrik terbesar di Sulawesi, yang mayoritas masih mengandalkan PLTU batubara. Penggunaan PLTU ini telah menyebabkan pencemaran udara dan air yang signifikan, merugikan masyarakat setempat,” ujar Pius.
Untuk mengatasi masalah ini, dia menekankan perlu adanya pengembangan jaringan transmisi Sulawesi yang saling terhubung, sehingga dapat meningkatkan penggunaan energi terbarukan di kawasan industri. Selain itu, produksi nikel perlu diperlambat melalui penerapan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahun Berjalan (RKAB) yang terbatas, agar selaras dengan pengembangan daya dukung energi terbarukan.
“Langkah ini penting untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihadapi warga lokal, terutama yang tinggal di sekitar area tambang,” tegas Pius.
Sektor pertambangan, khususnya industri nikel, dikenal memiliki risiko kerja yang sangat tinggi. Berbagai bahaya yang melekat dalam pekerjaan, seperti kecelakaan kerja dan kelalaian dalam penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), sering kali menjadi ancaman serius bagi para pekerja. Salah satu contoh nyata adalah insiden berulang seperti meledaknya tungku di fasilitas smelter. Kejadian ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penerapan prosedur keselamatan yang ketat di lokasi kerja.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP SPN), Iwan Kusnawan, menyoroti beberapa kali terjadi kecelakaan kerja di sektor ini tanpa adanya investigasi mendalam dari pihak terkait. Akibatnya, setiap kali ada korban dalam insiden tersebut, penanganan yang diberikan hanya bersifat normatif, terbatas pada penyediaan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan sebagai peserta, tanpa menyentuh aspek pencegahan dan penegakan tanggung jawab lebih lanjut.
“Ini menunjukkan kurangnya perhatian serius dari pihak perusahaan dan pemerintah terhadap perlindungan keselamatan para pekerja di industri yang berisiko tinggi,” jelas Iwan.
Sementara Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menyampaikan bahwa meskipun hilirisasi nikel telah membawa keuntungan ekonomi dalam skala nasional, bagi hasil yang diterima oleh daerah penghasil nikel pada kenyataannya relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh model kawasan industri yang berada dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), di mana sebagian besar manfaat ekonomi berpusat pada pemerintah pusat dan perusahaan besar, sementara daerah yang terdampak langsung oleh kegiatan pertambangan hanya memperoleh bagian yang sangat terbatas.
“Selain itu bagi hasil di daerah penghasil nikel tidak sebanding dengan biaya rehabilitasi lingkungan yang rusak karena aktivitas pertambangan, hingga pencemaran akibat PLTU batubara. Pemerintah daerah perlu mendapat peningkatan kapasitas fiskal baik dari alokasi dana transfer daerah, maupun dari sumber-sumber ekonomi alternatif selain pertambangan dan smelter,” ujar Bhima.