Wow, PLTU Captive di Indonesia Terus Melonjak •
Salah satu PLTU captive dekat sekolah di Morowali, Sulawesi Tengah. (Esa Setiawan/Trend Asia)
Jakarta, – Dua tahun setelah penandatanganan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP), pertumbuhan PLTU captive di Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Dalam rentang Juli 2023 hingga Juli 2024, kapasitas PLTU captive bertambah 4,5 gigawatt (GW), mendominasi kenaikan total PLTU yang mencapai 7,2 GW.
Pada tahun 2026, kapasitas PLTU captive diprediksi mencapai 26,24 GW. Angka ini lebih besar dari total kapasitas PLTU Australia yang saat ini sebesar 22,9 GW. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) berjudul, “Tracing Indonesia’s captive power growth: No sign of slowdown in 2024,” yang diperoleh PETROMINER, Jum’at (8/11).
Berdasarkan laporan tersebut, kapasitas PLTU captive di Indonesia tumbuh tiga kali lipat hanya dalam lima tahun, dari 5,7 GW pada tahun 2019 menjadi 15,2 GW pada Juli 2024. Kapasitas ini diperkirakan akan mencapai 17,1 GW akhir tahun ini.
Tak hanya itu, terdapat total 11,04 GW masih dalam proses pengembangan. Tambahan ini akan menjadikan kapasitas PLTU captive menyentuh 26,24 GW pada tahun 2026. Kapasitas ini setara 40 persen bauran kapasitas pembangkit utama di luar PT PLN (Persero) dan Independent Power Producer (IPP).
PLTU captive tersebut sebagian besar ditujukan untuk memenuhi permintaan industri padat energi, diantaranya industri logam, pulp dan kertas, kimia, semen, serta tekstil. Penambahan terbesar untuk menopang industri pengolahan logam, terutama nikel.
Pada tahun 2023-2024, kapasitas PLTU captive di Sulawesi Tengah meningkat dari 2,86 GW menjadi 5,19 GW, dan di Maluku Utara dari 1,87 GW menjadi 4,02 GW. Penambahan kapasitas diperkirakan juga akan terjadi hingga tahun 2026, yakni 3,16 GW di Sulawesi Tengah dan 3,02 GW di Maluku Utara.
Meskipun nikel merupakan logam penting untuk pengembangan kendaraan listrik dan baterai, penggunaan PLTU captive merupakan salah satu rute yang paling banyak menghasilkan emisi karbon untuk memenuhi permintaan tersebut.
Sebaran pembangkit listrik tenaga batubara di seluruh Indonesia, sampai Juli 2024. (Sumber: Global Energy Monitor, Global Coal Plant Tracker.
“Keinginan dan kemampuan Indonesia untuk memenuhi komitmen iklim global terlihat jelas dalam JETP dan rancangan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang baru-baru ini dirilis. Namun, efektivitas tindakan-tindakan ini terancam oleh kapasitas pembangkit listrik batubara yang terus meningkat di industri-industri inti negara kita,” ungkap Katherine Hasan, Analis CREA.
Katherine menyebutkan bahwa menetapkan jadwal yang jelas dan ambisius atas rencana pensiun dini PLTU dan integrasi energi terbarukan tidak hanya akan mendukung target iklim pemerintah. Namun, langkah ini juga bisa membantu menarik investasi energi ramah lingkungan yang dibutuhkan Indonesia untuk mengamankan posisi strategis dalam rantai pasokan energi terbarukan global.
Tak hanya itu, dampak kesehatan dan ekonomi dari pembangunan PLTU captive yang tidak terkendali akan membawa bencana besar bagi Indonesia.
Analisis terhadap kompleks industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara menunjukkan, dengan laju pertumbuhan saat ini dan tanpa adanya penguatan standar emisi dan lingkungan, paparan polusi udara dari proses peleburan berbasis batubara dan pengoperasian PLTU captive akan menyebabkan hampir 5.000 kematian pada tahun 2030. Hal ini juga bakal menimbulkan beban ekonomi sebesar Rp 56 triliun (US$ 3,42 miliar).
Sementara pengecualian PLTU captive dari target penghentian penggunaan batubara pada tahun 2040 akan menyebabkan 27.000 kematian tambahan dan beban ekonomi sebesar Rp 330 triliun (US$ 20 miliar) akibat dampak kesehatan kumulatif di tingkat nasional.
Penyertaan peta jalan pensiun PLTU captive dalam rencana nasional Indonesia tidak hanya akan mendukung upaya transisi energi dan target iklim pemerintah, namun juga akan memberikan sinyal positif untuk investasi energi bersih dan ramah lingkungan.
“Mengatasi peran batubara dalam transisi energi di Indonesia seharusnya tidak hanya terbatas pada sektor ketenagalistrikan saja. Jalur yang jelas untuk PLTU captive juga penting. Sebagai pemasok pemasok utama mineral kritis dalam rantai pasok energi bersih global, Indonesia perlu memperbaiki rencana nasionalnya dan memensiunkan PLTU captive untuk mendekarbonisasi industri padat energi, seperti industri nikel. Sebuah proses yang membutuhkan investasi dan tata kelola yang kuat,” kata Lucy Hummer, peneliti GEM.
Dengan sikap proaktif terhadap kemitraan iklim global seperti JETP, dan potensi energi terbarukan yang melimpah, Indonesia memiliki kemampuan untuk beralih dari PLTU captive dan menjadi pemimpin dekarbonisasi industri. Terlebih lagi, manfaat finansial dari energi terbarukan jelas lebih besar dibandingkan beban biaya akibat ketergantungan pada batubara.
Sebelum tahun 2025, biaya rata-rata pembangkit listrik selama masa pakai, Levelized Cost of Electricity (LCOE), dari penyimpanan tenaga surya di Indonesia dengan pembiayaan preferensial diperkirakan lebih murah US$ 0,01 sen per kilowatt hour (kWh), dibandingkan batubara. Angka ini akan mencapai lebih dari US$ 0,03 sen per kWh pada dekade berikutnya.