Butuh Intervensi Pemerintah untuk Percepatan Pengembangan Panas Bumi •

PLTP Kamojang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Jakarta, – Pengembangan listrik panas bumi di berbagai negara, termasuk Indonesia, mengalami kemajuan yang relatif lebih lambat dibandingkan jenis pembangkit listrik lainnya. Meskipun harga listrik panas bumi berpotensi lebih murah, analisis dari Credit Suisse menunjukkan bahwa daya tarik bisnis sektor ini masih terbatas.
Menurut Direktur Ekesutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk tingginya biaya investasi awal yang diperlukan untuk membangun pembangkit listrik panas bumi yang sering kali lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik lainnya. Investor juga cenderung lebih tertarik pada pembangkit listrik berbasis fosil yang meskipun memiliki biaya operasional yang tinggi namun dianggap lebih menguntungkan dibandingkan investasi awal yang besar pada pembangkit listrik panas bumi.
“Selain itu, lokasi pengembangan yang kurang fleksibel, karena hanya bisa dibangun di area tertentu, juga menjadi tantangan, sementara pembangkit listrik lainnya dapat dibangun di lokasi yang lebih bervariasi,” ungkap Komaidi dalam Webinar bertema “Peran Penting Industri Panas Bumi dalam Kebijakan Transisi, Ketahanan Energi dan Ekonomi Nasional,” Kamis (29/8).
Kesulitan dalam menemukan sumber panas bumi yang tepat telah meningkatkan biaya eksplorasi, dan ini tentunya ikut menambah hambatan dalam pengembangan panas bumi. Oleh karena itu, mekanisme business to business belum sepenuhnya dapat diterapkan dalam pengusahaan listrik panas bumi, dan intervensi kebijakan masih diperlukan untuk mendukung pertumbuhan sektor ini.
Namun, dia juga menegaskan bahwa harga listrik panas bumi yang lebih murah tidak selalu menjamin atau menjadi faktor pendorong yang menentukan keberhasilan dalam pengembangan dan pengusahaan listrik panas bumi. Terdapat faktor lain yang lebih menentukan, salah satunya adalah komitmen Pemerintah dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi itu sendiri.
“Pemerintah Indonesia perlu melakukan intervensi kebijakan jika mengharapkan adanya peningkatan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi di dalam negeri. Pengembangan dan pengusahaan panas bumi hampir dapat dipastikan akan berjalan relatif lambat jika hanya diserahkan pada mekanisme business to business,” ujar Komaidi.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, menyoroti perlunya percepatan pengembangan lebih lanjut untuk memaksimalkan potensi yang ada. Percepatan ini tidak hanya penting untuk memenuhi target emisi dan NZE, tetapi juga untuk memanfaatkan sumber daya alam Indonesia secara optimal demi kesejahteraan masyarakat dan ketahanan energi nasional.
“Akselerasi pengembangan panas bumi di Indonesia memerlukan koordinasi dan kolaborasi yang kuat antara berbagai Kementerian, Lembaga, dan para pemangku kepentingan lainnya. Pengembangan yang lebih cepat tidak bisa hanya bergantung pada satu pihak saja, tetapi membutuhkan sinergi yang menyeluruh dari semua sektor terkait,” tegas Eddy.
Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa investasi panas bumi cenderung menurun. Contohnya, investasi tahun 2018 sebesar US$ 1,18 miliar, namun tahun 2023 turun menjadi US$ 740 Juta.
“Ini mengindikasikan bahwa bahwa kerangka regulasi yang ada belum cukup optimal dalam mendorong pengembangan panas bumi di Indonesia. Hal ini juga mencerminkan bahwa regulasi yang ada saat ini belum cukup ramah bagi investor,” papar Eddy.
Dia pun menekankan urgensi untuk memperbaiki dan memperkuat kebijakan serta regulasi yang dapat memberikan kepastian dan daya tarik lebih bagi investor di sektor energi baru terbarukan, khususnya panas bumi, untuk memastikan peningkatan investasi di masa depan. Oleh karena itu, Komisi VII DPR RI berkomitmen untuk menyelesaikan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) serta menyusun revisi kedua UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Tidak hanya itu, Komisi VII juga berperan dalam memediasi sinkronisasi antara Permenperin No. 54 Tahun 2012 tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Permen ESDM No. 11 Tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Langkah-langkah ini diambil untuk memperkuat regulasi dan meningkatkan daya tarik investasi di sektor panas bumi dan energi terbarukan lainnya.
Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Yudha Permana Jayadikarta, mengapresiasi sikap DPR RI. Yudha mengakui bahwa pengembangan energi panas bumi di Indonesia memang memerlukan dukungan politik yang kuat serta kebijakan yang mendukung, terutama untuk sektor hulu yang berisiko tinggi.
“Dukungan ini dibutuhkan untuk mendorong percepatan industri panas bumi, sebagaimana yang telah sukses dilakukan di sektor migas dan pertambangan,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Yudha minta agar Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Harga Patokan Tertinggi PLTP perlu ditinjau kembali. Tujuannya, agar formula harga yang digunakan lebih sesuai dengan struktur biaya dan nilai keekonomian yang tepat bagi pembangkit panas bumi.
Selain itu, Pemerintah juga harus memberikan kepastian pembelian serta jadwal yang jelas untuk memperkuat kepercayaan dan stabilitas bisnis bagi para pengembang panas bumi. Percepatan pelaksanaan program “Government Drilling” sangat penting untuk mengurangi risiko yang ada di sektor hulu proyek pembakit listrik tenaga panas bumi.
Sementara Anggota Dewan Energi Nasional, Dina Nurul Fitria, menyampaikan perlunya langkah terobosan untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pemanfaatan energi panas bumi. Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah konsep Geothermal Exploration & Energy Conversion Agreement (GEECA), yang mencakup perizinan, pengadaan tanah, dan penyiapan situs untuk eksplorasi.
Untuk mendorong pengembangan panas bumi, menurut Dina, perlu dilakukan penguatan regulasi dengan menyempurnakan peraturan terkait Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), menyelaraskan regulasi seperti pemanfaatan panas bumi di wilayah konservasi, dan menyempurnakan regulasi terkait Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) agar prosesnya lebih efisien. Penyesuaian tarif dan pemberian insentif juga krusial, seperti memberikan insentif fiskal, pemboran sumur standar melalui program pemerintah, serta mereview harga beli listrik dan insentif tahunan.
Selain itu, perubahan model bisnis dalam pengembangan panas bumi perlu dilakukan dengan cara melakukan de-risking melalui pembangunan PLTP skala kecil, membangun kerangka regulasi yang mendukung produksi awal, dan memasukkan risiko operasi dalam model bisnis. Penciptaan nilai tambah dapat dicapai dengan meningkatkan pemulihan dan optimalisasi produksi, serta mengurangi biaya investasi.
“Selanjutnya, penciptaan sumber pendapatan baru dapat dilakukan dengan membangun rantai pasok yang menghasilkan aliran pendapatan ganda, menciptakan peluang off-grid, berpartisipasi dalam perdagangan karbon, dan memproduksi produk sampingan seperti hidrogen hijau, amonia hijau, dan mineral,” paparnya.