IESR: Ambisi Penurunan Emisi Indonesia Perlu Digenjot Lagi •

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Jakarta, – Institute for Essential Services Reform (IESR) berharap agar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB (Conference of the Parties/COP-28) dapat memperkuat  komitmen semua negara, termasuk Indonesia, untuk memangkas emisi gas rumah kaca di tahun 2030. Pasalnya, sesuai hasil Global Stocktake, janji dan realisasi penurunan emisi masih jauh untuk mencapai target Paris Agreement. Untuk itu pasca COP-28, semua negara perlu meninjau kembali Nationally Determined Contribution (NDC)-nya serta membuat target mitigasi krisis iklim yang lebih ambisius.

Berdasarkan laporan diskusi Global Stocktake UNFCCC tahun 2023, komitmen negara-negara di dunia yang tercantum pada NDC-nya tidak sejalan dengan Paris Agrement. Hal ini akan menyulitkan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global sebesar 43 persen di tahun 2030 dari tingkat emisi tahun 2010 dan 60 persen di tahun 2035 serta nir emisi pada tahun 2050. Tidak hanya itu, dengan target NDC yang disampaikan pada COP27, suhu bumi pada tahun 2050 diperkirakan melampaui target Paris Agreement.

IESR juga memandang investasi yang besar untuk bertransisi energi perlu didukung dengan kebijakan yang mendukung. Indonesia semestinya dapat mengeluarkan kebijakan dan komitmen yang lebih ambisius dengan semakin sempitnya waktu untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius sesuai Paris Agreement.

“Indonesia perlu menyampaikan target penurunan emisi yang lebih ambisius dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim dalam Second NDC (SNDC) yang rencananya akan disampaikan tahun 2025. Agar selaras dengan target 1,5°C, tingkat emisi pada tahun 2030 harus maksimal 850 juta ton untuk seluruh sektor,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, Senin (4/12).

Di sektor kelistrikan, transisi energi ditandai dengan target 44 persen bauran energi terbarukan di tahun 2030. Meski target bauran energi terbarukan tersebut tercapai, namun belum dapat membuat emisi sektor kelistrikan mencapai level di bawah 200 juta ton CO2, sesuai dengan jalur 1,5°C.

“Untuk itu, selain penambahan energi terbarukan, masih diperlukan pengakhiran operasi PLTU, 8 sampai 9 GW sebelum 2030 untuk menurunkan emisi pada level tersebut,” tegas Fabby.

Pada tahun 2025, menurutnya, Indonesia perlu meningkatkan ambisinya dalam Enhanced NDC yang saat ini hanya membidik target penurunan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri  (unconditional) dan 43,2 persen dengan bantuan internasional (conditional) tahun 2030. Target ini dibuat dengan membandingkan proyeksi business as usual (BAU) tahun 2010.

IESR, dengan menggunakan proyeksi dari data emisi tahun 2020, menemukan bahwa Indonesia dapat menetapkan target ambisi iklim tanpa syarat (unconditional NDC) sebesar 26 persen hingga tahun 2030. Peningkatan target ambisi ini lebih tinggi dari target saat ini dan bertujuan agar Pemerintah dapat menetapkan target ambisi iklim yang lebih relevan untuk sejalan dengan target Paris Agreement agar pemanasan global tidak melebihi 1,5°C.

“Banyak peluang yang Indonesia dapat lakukan agar meningkatkan pencapaian target bauran energi terbarukan sejalan dengan Paris Agreement. Misalnya dengan menyesuaikan penyusunan SNDC dengan prinsip-prinsip NDC dalam Article 4 Line 13 dari Paris Agreement, yakni mempromosikan integritas lingkungan hidup, transparansi, akurasi, keutuhan, keterbandingan, konsistensi, dan memastikan terhindar penghitungan ganda, menggunakan metode-metode yang layak untuk mencapai upaya dekarbonisasi, dan mempercepat dekarbonisasi keluar dari penggunaan bahan bakar fosil,” ujar Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, Wira A Swadana.

Wira menyatakan, Indonesia perlu menarik dukungan internasional, berkolaborasi dalam teknologi dan pengetahuan untuk mendorong pengembangan energi terbarukan agar dapat menerapkan temuan-temuan kunci dari Technical Dialogue of the first GST, khususnya di bidang mitigasi iklim. Utamanya, pada COP-28 juga didorong untuk meningkatkan target energi terbarukan tiga kali lipat lebih besar atau setara 11 TW pada tahun 2030.

Menurutnya, Indonesia dapat berkolaborasi dan memperkuat kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UAE). Terlebih, Masdar perusahaan asal Uni Emirat Arab, telah terlibat dalam pembangunan PLTS terapung Cirata dan berinvestasi di sektor energi panas bumi, seiring dengan statusnya sebagai investor strategis dalam penawaran umum perdana saham atau IPO PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. pada Februari 2023 lalu.

“Kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara lain, termasuk UAE, sesungguhnya dapat membantu untuk upaya dekarbonisasi Indonesia untuk memitigasi dampak buruk dari perubahan iklim. Indonesia sudah memiliki berbagai kerja sama iklim, misalnya melalui mekanisme JETP dan berbagai kerja sama bilateral tetapi masih terdapat banyak kesenjangan untuk mendorong implementasi mitigasi dan adaptasi iklim yang lebih ambisius. Lebih khusus dalam hal pendanaan dan peningkatan kapasitas,” ujar Wira.