IESR: Pembangunan Energi Terbarukan Cenderung Lambat •
Panel surya PLTS di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur.
Jakarta, – Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan tren pembangunan energi terbarukan di Indonesia cenderung melambat. Hingga kuartal keempat 2023, pembangunan hanya mencapai 0,97 GW dari target 3,4 GW.
Jika tren ini berlanjut, Indonesia justru tidak akan mencapai puncak emisi karena stagnasi dekarbonisasi sektor daya (power), sedangkan emisi sektor permintaan (demand) terus naik. Hal ini membuat langkah Indonesia untuk menurunkan emisi akan semakin sulit jika tidak disertai ambisi penurunan emisi yang tinggi dan komitmen politik yang kuat.
“Penetrasi energi terbarukan variabel (PLTS dan PLTB) yang tinggi akan membuat konsep pembangkit baseload atau pembangkit yang beroperasi secara berkesinambungan dengan kapasitas yang tinggi menjadi tidak relevan,” ungkap Analis Energi Terbarukan IESR, Pintoko Aji, dalam media briefing Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024, yang diselenggarakan secara daring, Selasa (12/12).
Menurut Pintoko, dengan adanya kebutuhan untuk meningkatkan penetrasi variable renewable energy (VRE), sistem ketenagalistrikan Indonesia membutuhkan sistem yang lebih fleksibel dan responsif. Makna fleksibel berarti tingkat sistem ketenagalistrikan dapat menyesuaikan dengan beban dan sebagai reaksi variabilitas produksi listrik dari VRE.
“Untuk melakukannya, diperlukan pendalaman materi untuk pembatasan kontraktual, misal perubahan kontrak (legal) dari menerima atau membayar (take-or-pay) ke menerima dan membayar (take-and-pay) dan insentif fleksibilitas,” paparnya.
IESR mendorong agar pemerintah menunjukkan komitmen politik (political will) yang lebih kuat dan langkah-langkah yang konkret untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan. Selain itu, strategi dekarbonisasi perlu diterapkan di seluruh sektor agar saling mendukung. IESR memandang Presiden baru yang akan terpilih pada Pemilu 2024 harus menciptakan momentum transisi energi sedari awal kepemimpinan.
Pembahasan upaya Indonesia dalam meraih puncak emisi pada tahun 2030 yang berpotensi sebagai tonggak transformasi ke energi terbarukan secara besar-besaran atau justru mengakhiri harapan untuk mencapai target NZE lebih cepat merupakan topik utama dalam laporan unggulan IESR berjudul IETO 2024. Seluruh pembahasan mengenai status dan analisis sektor energi untuk mendorong percepatan transisi energi terangkum pada IETO 2024. Terbit sejak tahun 2017, dengan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) yang kemudian bertransformasi menjadi IETO di tahun 2019.
Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, tahun ini, IETO 2024 hadir dengan lebih komprehensif dalam memantau perkembangan dan proyeksi transisi energi di Indonesia.
Indonesia telah mengeluarkan rencana dan komitmen transisi energi dengan terbitnya beberapa kebijakan pemerintah seperti Perpres 112/2022 tentang percepatan pembangunan energi terbarukan, dan pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional (KEN) oleh Dewan Energi Nasional. Namun implementasi untuk mempercepat transisi energi masih membutuhkan dukungan dari segi regulasi dan investasi.
IETO 2024 juga menyoroti agar dapat mencapai target emisi kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) 250 MtCO2e/y pada tahun 2030, hasil simulasi IESR menunjukkan Indonesia perlu mengurangi 4,29 GW PLTU batubara dan diesel hingga 2030. Selain itu, Indonesia harus menggenjot pembangunan energi terbarukan setidaknya 30,5 GW tambahan hingga 2030.
IESR akan melakukan diskusi dan peluncuran laporan IETO 2024 pada 15 Desember 2023.